Cinta tumbuh bukan karena dipaksakan
Cinta itu tumbuh
bukan karena dipaksakan. Cinta tumbuh karena anugerah. Entah dari mana asalnya
ia datang, ia tumbuh begitu saja.
Indonesia Timur.
Dua kata itu mendarat dengan manis di telinga bahkan merayap turun sampai ke
hati. Tidak terasa, rasa rindu pada bagian pinggir Indonesia ini timbul dan
berubah jadi harapan. Persisnya sejak kapan rasa itu bertumbuh, saya tidak
tahu. Ditanya mengapa pun, saya tidak
mampu menjelaskannya dengan baik. Nama itu – jatuh di hati lalu menggerakkan si
hati untuk menyebut namanya tiap-tiap malam, setidaknya melalui bisikan kepada
Sang Pelukis Semesta.
Tidak tahu apa
yang bisa diperbuat di sana. Tidak tahu bagaimana dan kapan harus memulai. Tidak
tahu bagaimana caranya ke sana. Tidak tahu dengan siapa harus bercerita dan
mengatur strategi untuk mengambil langkah.
Saya ingin
bergerak cepat, berlari. Berlari sambil lompat jauh bahkan kalau bisa. Tetapi,
samar-samar. Mirip seperti mengendarai mobil di tengah hujan deras,
basahnya kaca mobil oleh hujaman rintik hujan memaksa untuk mengurangi
kecepatan mobil. Pandangan dan pemahaman saya yang terbatas memperlambat laju
kaki saya.
Ternyata masih
banyak tempat perhentian yang harus dikunjungi
untuk melatih otot-otot kaki supaya lebih kuat -- sebelum benar-benar berdiri menjejak di
atas daratan itu. Ternyata banyak suara yang perlu didengar supaya kadar kebodohan yang masih tinggi setidaknya
digodok untuk menjadi secangkir hikmat.
Saya hampir melupakan
tempat ini dua tahun yang lalu. Saya pikir ini cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Saya berkali-kali mencoba menghampiri kompleks timur dengan cara yang
saya pikir adalah cara paling
mujarab...melamar jadi peneliti sosial
lapangan di Papua di IGO, mencoba bekerja di Papua Center di kampus, hingga
melamar jadi enumerator organisasi pemerintah yang sedang kumpul data di Papua…
tetapi gayung tidak
belum bersambut.
Saya sudah
berjalan melenggang, berbalik ke arah yang lain. Namun, saya masih berharap.
Ketika saya sudah
menyerah dan memberikan kendali perahu kepada Sang Pemilik Lautan Lepas (lebih tepatnya di titik, “Tuhan, di bawah
kedaulatanMu, terserah Kau mau bikin apa dengan hidupku”), tanpa jelas
bagaimana prosesnya, nama Halmahera Utara sampai di gendang telinga saya. Ketika
saya sudah begitu nyaman dengan keberadaan saya di Jakarta, saya malah ‘diusir’
ke tempat antah berantah itu.
Saya tertawa
kecil. Rupanya Halmahera Utara itu Maluku Utara, dan Maluku Utara itu bagian
dari …… Indonesia Timur.
Saya pikir kadang-kadang
Tuhan ini caranya lucu juga. Jujur saja, saya bingung harus senang atau sedih saat tahu kabar penempatan itu. Sekali
lagi horizon saya diperluas bahwa Indonesia Timur tidak hanya berbicara
tentang Papua.
Bertemunya semut
dengan satu butir gula di bawah meja makan itu sama sekali bukan kebetulan,
apalagi pertemuan-pertemuan manusia di persimpangan jalan. Sang Pengatur
Semesta mengamat-amati dan menjalin benang-benang tenun-Nya dengan terencana.
Sampainya saya di tanah Halmahera ini pun bukan rancangan asal-asalan dari Sang
Pemilik jalan hidup. Entah untuk apa, saya pun masih menjejakinya pelan-pelan. Setelah
ini saya ke mana, satu orang
manusia pun tidak ada yang tahu. Proses penjejakan ini seru, menantang dan
indah pada saat yang sama.
Ini hari ke 557
saya hidup di Indonesia Timur, benih-benih cinta pada tanah ini masih terus ditabur.
Jatuh cinta itu satu hal, namun menumbuhkan dan memeliharanya itu hal lain. Falling in love memang tahapan penting, tapi
growing in love jauh lebih penting. Jatuh
cinta memberikan cukup energi untuk memulai, namun mau bertumbuh di dalamnya
memberikan tenaga ekstra untuk menjalani sampai akhir.
Butuh perjuangan
memang, Bung. Hal yang pahit-pahitnya NGGAK
sedikit, kekecewaan BANYAK, bikin
salah NGGAK jarang, capek ‘menanam’ SERING. Tapi jika Bung bertahan, cinta
makin bertumbuh kuat dan dalam. Jika angkat tangan, akarnya melemah dan
akhirnya cinta pun tumbang (cailaaah…)
Terbuktilah yang
orang bilang love is a verb, karena
nggak pernah cukup kalau cuma sebatas diucap jadi kata romantis. Jangan lupa, habis
tanam ya disiram dan dikasih pupuk, nanti bila Yang Mulia berkenan, maka Yang
Mulia berikan pertumbuhan. Kalau sudah bertumbuh, dianugerahkanlah kiranya
kepekaan untuk merasakan dan menikmati pertumbuhan itu.
Yaudah segitu dulu
cerita malam ini, kopi saya sudah habis (ala-ala Denny Siregar) hehehe. Sebenarnya momen nulis ini tak terelakkan adalah kebutuhan untuk
mengingatkan jiwa penulis yang pelupa ini bahwa Sang Penuntun Jalan sudah
membawanya sejauh ini bukan untuk menyesatkan apalagi meninggalkannya. Ada
proyek yang sedang dipercayakan untuk dikerjakan, sebut saja namanya: proyek
ketaatan. Bergelutlah terus, sebab sesungguhnya musuhmu yang terbesar bukanlah
orang lain, tetapi dirimu sendiri. Jika dirimu sendiri tidak berhasil kau kalahkan,
bagaimana bisa kau kalahkan dunia, kawan? (nanya
ke diri sendiri).
Selamat jatuh cinta dan grooooow in it!
Started from September
7, 2015 and will continue counting the upcoming minutes.
I treasure each day since each day is Kairos.
so sexy
ReplyDelete