Go Beyond Feelings!
Pagi ini
saya bangun dengan kondisi perasaan yang kurang baik. Saya merasa terbebani
oleh banyaknya to-do-list yang harus saya kerjakan hari ini. Saya
bingung akan hal apa yang harus saya kerjakan terlebih dahulu.Saya berpikir
bahwa ini semua terlalu banyak.
Sebelum bangun untuk beraktivitas, saya berusaha untuk menghadapi perasaan atau emosi saya dengan menundukkannya dalam hadirat Tuhan. Saya sedang merasa kalah dalam mengatur emosi saya. Saya sedang merasa emosi sayalah yang menjadi tuan atas apa yang saya kerjakan sejak kemarin. Sebuah pergumulan yang belum terselesaikan seakan-akan membuat saya lupa bahwa ada Allah yang menjaga dan senantiasa peduli. Saya lebih percaya kepada ketidakpastian semu yang diargumentasikan oleh emosi saya. Saya pikir ada yang salah dengan itu semua sehingga sebelum memulai apapun hari ini, saya harus menyelesaikannya bersama Allah. Sontak saya ingat video khotbah yang saya download beberapa minggu lalu. Di saat saya mendengarkannya, saya disegarkan kembali. Sama halnya seperti nahkoda kapal yang menemukan cahaya mercusuar di lautan malam hari, mungkin itulah yang bisa saya deskripsikan untuk menggambarkan bagaimana rasanya hari ini.
Pengajaran yang saya nikmati pagi ini mengingatkan saya bahwa ada hal yang jauh lebih penting daripada emosi atau perasaan. Bahkan seharusnya apapun yang dikerjakan dalam hidup saya sehari-hari, saya tidak menjadikan perasaan sebagai tolok ukur di dalam bertindak. Berbeda sekali dengan tren di dunia saat ini, yang seolah-olah menjadikan perasaan sebagai pengesah dari tindakan yang kita ambil, misalnya:
Karena saya merasa nyaman dengan lingkungan organisasi itu, saya mau bergabung dengan mereka
Karena saya merasa kemampuan saya cukup untuk posisi tersebut, saya menerima tawaran perusahaan itu
Karena saya merasa terlalu sakit, saya tidak bisa memaafkan dia
Karena saya merasa takut, saya lebih baik memilih hal lain yang kurang beresiko
Karena saya merasa tidak sebaik lawan-lawan saya, saya tidak mau ikut bersaing dalam kompetisi itu/saya layak untuk kalah
Karena saya merasa tidak cukup percaya diri, saya lebih baik tidak mendekati dia
Karena saya merasa tidak merasa cukup layak, saya tidak mau ikut melayani
Karena saya merasa tertekan dengan pelayanan ini, lebih baik saya mengundurkan diri dari pelayanan
Sebelum bangun untuk beraktivitas, saya berusaha untuk menghadapi perasaan atau emosi saya dengan menundukkannya dalam hadirat Tuhan. Saya sedang merasa kalah dalam mengatur emosi saya. Saya sedang merasa emosi sayalah yang menjadi tuan atas apa yang saya kerjakan sejak kemarin. Sebuah pergumulan yang belum terselesaikan seakan-akan membuat saya lupa bahwa ada Allah yang menjaga dan senantiasa peduli. Saya lebih percaya kepada ketidakpastian semu yang diargumentasikan oleh emosi saya. Saya pikir ada yang salah dengan itu semua sehingga sebelum memulai apapun hari ini, saya harus menyelesaikannya bersama Allah. Sontak saya ingat video khotbah yang saya download beberapa minggu lalu. Di saat saya mendengarkannya, saya disegarkan kembali. Sama halnya seperti nahkoda kapal yang menemukan cahaya mercusuar di lautan malam hari, mungkin itulah yang bisa saya deskripsikan untuk menggambarkan bagaimana rasanya hari ini.
Pengajaran yang saya nikmati pagi ini mengingatkan saya bahwa ada hal yang jauh lebih penting daripada emosi atau perasaan. Bahkan seharusnya apapun yang dikerjakan dalam hidup saya sehari-hari, saya tidak menjadikan perasaan sebagai tolok ukur di dalam bertindak. Berbeda sekali dengan tren di dunia saat ini, yang seolah-olah menjadikan perasaan sebagai pengesah dari tindakan yang kita ambil, misalnya:
Karena saya merasa nyaman dengan lingkungan organisasi itu, saya mau bergabung dengan mereka
Karena saya merasa kemampuan saya cukup untuk posisi tersebut, saya menerima tawaran perusahaan itu
Karena saya merasa terlalu sakit, saya tidak bisa memaafkan dia
Karena saya merasa takut, saya lebih baik memilih hal lain yang kurang beresiko
Karena saya merasa tidak sebaik lawan-lawan saya, saya tidak mau ikut bersaing dalam kompetisi itu/saya layak untuk kalah
Karena saya merasa tidak cukup percaya diri, saya lebih baik tidak mendekati dia
Karena saya merasa tidak merasa cukup layak, saya tidak mau ikut melayani
Karena saya merasa tertekan dengan pelayanan ini, lebih baik saya mengundurkan diri dari pelayanan
Memang perasaan saya sedang kurang baik pagi ini, tetapi bukankah perintah-Nya adalah "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Fil 4:4)? Manakah yang lebih penting, menaati perintah-Nya atau mengikuti perasaan untuk bermuram durja sepanjang hari?
Bila tidak
hati-hati, perasaan bisa jadi berhala yang menghalangi kita untuk menjadi
pelaku Firman. Bila tidak kritis terhadap perasaan kita sendiri, kita bisa jadi
menempatkan perasaan lebih penting daripada yang Tuhan perintahkan. Maksudnya,
seringkali perintah Tuhan bertolak belakang dengan apa yang kita rasakan. Seberapa
sering kita lebih memercayai apa yang kita rasakan daripada pandangan Tuhan mengenai
apa yang kita sedang alami?
Saya
mengalaminya sendiri beberapa waktu terakhir. Untuk menjawab pertanyaan skripsi
saya, saya butuh untuk turun lapangan karena data di Jakarta tidak cukup. Saya
bergumul berat dengan hal ini karena saya merasa takut. Saya kuatir karena
lokasi turun lapangan yang akan saya jalani begitu jauh. Saya kuatir karena hal
itu berarti saya membutuhkan dana yang besar sedangkan saya sedang tidak
memegang uang sama sekali. Saya takut karena saya berpikir saya akan seorang
diri turun ke sana, pergi mencari narasumber ke sana kemari di tempat yang
asing dan kabarnya rawan. Saya takut tidak dapat data yang cukup. Intinya satu,
perasaan saya adalah takut.
Tapi Firman
Tuhan jauh lebih penting daripada perasaan takut saya. Berminggu-minggu saya
bergumul dengan perasaan itu, namun Firman yang dinyatakan kepada saya melalui
waktu-waktu teduh selalu menggaungkan hal yang sama meskipun berasal dari
bagian Alkitab yang berbeda. Intinya adalah “Pergilah.Jangan takut dan
gentar. Aku menyertaimu.“ Masih adakah alasan untuk saya berargumentasi
dengan Dia yang sudah memerintahkan untuk pergi dan berjanji untuk menyediakan
penyertaan? Seharusnya tidak.
“Stop living according to how you feel and
start living according to what you know down deep inside that you're supposed
to do.“ – Joyce Meyer
Satu kalimat
dari Joyce Meyer di atas mengingatkan saya bahwa memang saya merasa takut,
tetapi saya tahu bahwa Allah menyertai saya. Oleh sebab itulah, saya seharusnya
bertindak berdasarkan apa yang saya tahu mengenai Allah yang saya sembah, bukan
berdasarkan fantasi perasaan yang bahkan lebih banyak didistorsi oleh
kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi.
Di situlah
salah satu kesempatan dimana ketaatan diuji. Mana yang mau lebih dipatuhi,
perasaanmu atau kehendak Allah yang dinyatakan lewat Firman-Nya?
Ketika Dia yang
menyuruh pergi, Dia membukakan jalan-jalan dan kebutuhan sehingga akhirnya saya
pun jadi pergi selama dua minggu dan sekarang sudah kembali. Ketakutan saya
apabila nanti saya di tempat turlap akan sendiri, tidak terbukti, karena Dia
menyediakan perpanjangan tangan-Nya melalui orang-orang yang dengan baiknya menolong
saya.
Study
and love
Saat ini
saya kembali dihadapkan dengan pilihan: mau tunduk pada perasaan atau Firman
Tuhan. Jelas Firman-Nya mengatakan supaya melakukan segala sesuatu seperti
untuk Dia, dengan bagian terbaik yang bisa saya bawa sebagai persembahan bagi
Dia. Akan tetapi, rasa enggan, malas dan mood buruk jadi penghalang yang
sedari kemarin saya hadapi untuk melanjutkan pengerjaan skripsi ini. Saya
merasa bimbang untuk mengolah data dan menulis kembali, sedangkan yang Dia
perintahkan lewat Firman-Nya adalah untuk terus maju dan bayar harga supaya tidak
malas. Kembali ditantang untuk jadi pelaku Firman, dengan melawan musuh terbesar
saya saat ini, yaitu diri sendiri dan perasaan.
Tidak hanya
perihal studi. Belakangan, perasaan kagum terhadap seseorang yang saya rasakan juga
akhirnya jadi kesempatan untuk saya memurnikan hati. Apabila mengikuti
perasaan, tidak bohong apabila saya rasanya ingin selalu tahu apa yang sedang
dia kerjakan, apa yang sedang dia rasakan, ingin berbuat segala sesuatu supaya
dapat menolongnya.
Namun sebenarnya
ada jebakan di situ. Apabila saya menuruti semua yang diinginkan perasaan saya,
bisa jadi saya sedang tidak mengerjakan apa yang sebenarnya Tuhan mau.
Masa seperti
ini buat saya adalah masa yang rentan terhadap manipulasi. Dengan mudah kita cenderung
berbuat baik untuk orang yang kita suka. Tapi coba diselidiki apa motif di
balik itu? Karena tulus ingin membantu, atau memang simply karena kita
suka? Kalau alasannya ternyata hanya karena 'saya suka kamu maka saya lakukan
A', bagi saya bentuk kebaikan apapun yang dilakukan itu tidaklah teruji.
Kebaikan dengan motivasi tersembunyi itu bisa jadi hanyalah kedok supaya orang
yang disuka dapat balik memperhatikan dia.
Saya
bersyukur Tuhan anugrahkan perasaan kagum terhadap pria ini. Tetapi anugrah ini
bukan berarti adalah tuan yang berhak mengatur tindakan saya. Anugrah ini
hanyalah pemberian-Nya, sedangkan saya haruslah tunduk pada Sang Pemberi
Anugrah, bukannya malah lupa lalu mengesampingkan-Nya.
Jujur, saya
menikmati proses ini, proses dimana kasih yang ada di dalam hati saya untuknya terus
menerus diuji. Dalam relasi pertemanan saya dengannya, saya belajar untuk
menyerahkannya kepada Roh Kudus. Saya tidak akan berbuat apapun secara khusus
untuknya, bila bukan Roh Kudus yang ingatkan dan gerakkan. Saya harus rajin cek
motivasi setiap saat, saya tidak mau perasaan saya yang menjadi alasan ketika
saya melakukan sesuatu yang berkaitan dengannya. Saya tidak mau mendahului
Tuhan dengan melancarkan strategi maupun melakukan trik-trik untuk membuat dia
terkesan. Saya berlatih mengendalikan diri dan perasaan. Tentunya sangat sulit
dan 'berdarah-darah' karena rasanya tidak enak. Pasti akan senantiasa gagal
bila bukan Roh Kudus yang diandalkan.
Saya mau mengasihi
dia, sebagaimana Yesus mengasihi dia. Saya mau mengasihi dia sebagai seorang sahabat.
Itu yang mencegah saya untuk menyalahgunakan perasaan yang ada dalam hati saya,
yang seringkali menggoda saya untuk memanfaatkannya bagi keuntungan diri
sendiri.
Akhirnya
saya semakin menyadari dan mengalami bahwa kasih itu lebih dari sekedar apa
yang dirasakan, tetapi kasih adalah tindakan nyata yang didasari ketulusan – nothing
to lose. Ketika sudah berubah menjadi sesuatu yang diharapkan untuk kembali
ketika memberikannya, berarti itu bukan kasih, tetapi egosentrisme.
Sentences to close and remember
Melangkahlah keluar dari perasaan dan menjadikan kembali Firman Tuhan sebagai standar dan tolok ukur utama dalam bertindak. Karena perasaan adalah bagian dari kedagingan manusia, mungkin rasanya sakit setiap kali kita 'menyalibkannya'. Itulah artinya membayar harga. Price is pain in your flesh, the more it is painful, the more it screams. Semakin tinggi harga yang harus dibayar berarti semakin keras dan sakit teriakan kita karena kedagingan kita yang semakin dikikis habis.
Sentences to close and remember
Melangkahlah keluar dari perasaan dan menjadikan kembali Firman Tuhan sebagai standar dan tolok ukur utama dalam bertindak. Karena perasaan adalah bagian dari kedagingan manusia, mungkin rasanya sakit setiap kali kita 'menyalibkannya'. Itulah artinya membayar harga. Price is pain in your flesh, the more it is painful, the more it screams. Semakin tinggi harga yang harus dibayar berarti semakin keras dan sakit teriakan kita karena kedagingan kita yang semakin dikikis habis.
Rasanya
sakit sekali mendisiplin diri untuk kembali rajin mengerjakan bagian-bagian
skripsi, rasanya sakit sekali untuk menahan diri dari menunjukkan perasaan
suka, tetapi ya itulah harganya. Perasaan ada bukan untuk mengendalikan kita,
tetapi sebaliknya, untuk kita kendalikan.
Sekali lagi,
kita bukan mengampuni karena kita merasa ingin mengampuni. Kita
mengampuni karena Tuhan memerintahkan kita untuk mengampuni yang bersalah
kepada kita. Kita mengasihi bukan karena kita merasa ingin mengasihi,
melainkan karena Tuhan memerintahkan kita untuk saling mengasihi.
We have
to obey what God has commanded although our feeling does not long to do so. That makes it obedience.
We don't
have to ask why. That's called trust, when we believe that what He wants is always the
best thing ever.
Let's go
beyond feelings :)
Comments
Post a Comment