Kewirausahaan Berbasis Koperasi: Merintis Optimisme Pembangunan Indonesia di Pulau Terdepan
Esai ini pernah saya kirimkan untuk Kompetisi Esai yang diadakan oleh salah satu surat kabar pada tahun 2013. Sebuah pelajaran hidup dari orang-orang sederhana di salah satu lokasi surga Indonesia.
***
Dokumentasi pribadi: Pemandangan Desa Betok Jaya |
“Kak, kak..lihat nih
kakiku,“ kata seorang gadis kecil dengan
logat Melayunya seraya menunjukkan beberapa luka di telapak kakinya.
“Loh, kenapa ini?“ Sahut
saya menanggapinya, juga dalam logat Melayu.
“Kena paku, kak,“
jawabnya sambil menunjukkan wajah dan gerak-gerik tubuh yang manja.
“Kena paku?“ Saya lihat
dia tidak menggunakan sandal sehingga kemudian pertanyaan yang muncul di kepala
saya adalah, “memang sandal kau ke mane, Yunit?“
Di luar pikiran saya, anak ini
menjawab, “Ndak punye sandal, kak. Ndak ade duit. Orang miskin. Ndak
ade duit kame untuk beli sandal.“
***
Kemiskinan – sebuah kata yang
menjadi momok yang menakutkan bagi pembangunan di setiap negara sehingga
semuanya berlomba-lomba memasukkan pemberantasan kemiskinan ke dalam agenda pembangunannya. Banyak negara yang begitu
alergi disebut sebagai negara miskin meskipun bagi saya definisi dan standar
yang dipakai secara internasional mengenai kemiskinan masih terlalu relatif.
Seringkali pelabelan mengenai kaya atau miskinnya suatu negara memiliki dampak
yang besar namun sayangnya jarang sekali disadari.
Krisis Identitas Suatu Negara
yang Kaya
Indonesia sebenarnya bukan negara miskin tetapi dikategorikan secara internasional sebagai negara yang cukup menengah ke bawah. Kategorisasi tersebut semata-mata didasarkan pada pengukuran besarnya pendapatan per kapita suatu negara yang lebih lanjut digunakan untuk memperkirakan persentase orang yang hidup di bawah garis sekian dolar Amerika Serikat. Mirisnya, ketika dunia memandang Indonesia sesuai dengan label tingkat kemiskinan yang cukup memprihatinkan, kita acapkali hanyut dalam pandangan yang demikian pula. Padahal seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, label yang tersemat pada negara ini mengenai kemiskinan sangatlah relatif dan seharusnya tidak boleh dipercaya begitu saya. Apabila kepercayaan pada label itu tetap dibiarkan berkembang, maka dampaknya kepada pembangunan negara akan terasa.
Hal yang membuat saya berani mengatakan bahwa konsepsi kemiskinan yang berlaku saat ini tidak sepatutnya kita jadikan vonis atau harga mati adalah karena saya melihat sendiri fakta bahwa label kemiskinan tersebut seperti telah dijadikan sebagai kepercayaan pribadi oleh sebagian kecil potret rakyat Indonesia. Potret itu sudah saya gambarkan dalam potongan dialog di atas. Suatu potret yang merefleksikan krisis identitas suatu negara yang kaya.
Dokumentasi Pribadi: Bersama anak-anak harapan Desa Betok Jaya |
Percakapan antara saya dan
seorang gadis kecil di atas terjadi pada hari-hari pertama saya berada di
sebuah desa kecil di kepulauan terdepan Indonesia, Desa Betok Jaya, Kepulauan
Karimata. Dalam rangka menunaikan tugas Kuliah Kerja Nyata 2013 dari universitas,
saya sampai di desa ini dan menetap hampir satu bulan. Desa ini masuk ke dalam
wilayah pemekaran Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat yang baru resmi
berjalan selama enam tahun.
Terpisahkan oleh laut yang
harus ditempuh selama berjam-jam dari pusat pemerintahan kabupaten tersebut,
Desa Betok Jaya masih termasuk dalam kelompok wilayah administratif berpredikat
'daerah tertinggal' di Indonesia. Minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan
di desa ini juga secara tidak langsung dapat dikatakan telah membentuk pola
pikir di benak warga desa ini bahwa mereka lebih rendah daripada para mahasiswa
yang datang ke wilayah itu mengingat rata-rata warga yang berlatar belakang
pendidikan hanya sampai di bangku Sekolah Dasar. Sekalipun ada yang merupakan
lulusan SMP, namun jumlahnya masih sangat sedikit karena SMP di desa ini baru
berdiri sekitar lima tahun lalu. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga
SMA pun semakin mengerucut karena desa ini tidak memiliki SMA sehingga yang
ingin melanjutkan sekolah setelah lulus SMP harus pergi ke Sukadana, Ketapang
atau Belitung.
Bagaimanapun, letak geografis
dan julukan sebagai 'daerah tertinggal' itu seakan berperan besar dalam
menciptakan efek psikologis berupa perasaan terisolasi dan terbelakang meski pada
kenyataannya saya percaya mereka tidak demikian. Efek psikologis tersebut
sangat terpampang jelas di mata saya dan rekan-rekan dalam observasi lapangan
yang kami lakukan.
Kewirausahaan: Peluang dan
Tantangan
Saya melihat bahwa akar masalah
yang sebenarnya dari kemiskinan berkisar di seputar kepemilikan uang, baik
dalam kemampuan menghasilkan maupun pengelolaannya. Kekurangmampuan
menghasilkan maupun mengelola uang inilah yang membuat kemampuan ekonomi
seseorang menjadi terbatas. Kewirausahaan, dalam hal ini merupakan jawaban
untuk menyelesaikan inti permasalahan tersebut sebab kewirausahaan mendorong
peningkatan kemampuan menghasilkan dan mengelola uang.
Untuk memulai kegiatan
wirausaha, dibutuhkan hal-hal potensial untuk pelaksanaannya, mulai dari keahlian,
pasar dan modal. Indonesia secara garis besar memiliki itu semua, termasuk Desa
Betok Jaya. Sebagian besar warganya memiliki keahlian, seperti membuat
kerajinan tikar dan tas dari pandan hutan, membuat aksesoris dari biota laut
yang sudah mati, sampai membuat hasil olahan ikan laut, misalnya kerupuk ikan.
Meskipun letak desa ini cenderung jauh dari kota, namun letaknya cukup
strategis sehingga pasar sebenarnya tetap tersedia untuk distribusi hasil
produksi tersebut, misalnya Ketapang, Belitung, bahkan Jakarta.
Dokumentasi Pribadi: Kondisi rumah warga di saat air laut surut |
Akan tetapi, kepemilikan
keahlian dan pasar itu ternyata tidak cukup untuk membuat desa ini berkembang.
Ada dua tantangan utama yang saya analisis: pertama, dampak psikologis
dari label 'tertinggal' atau 'miskin' ini menjadi kendala yang cukup besar.
Seperti yang saya amati secara langsung dari desa ini, sebenarnya sebagian
besar warga memiliki banyak potensi yang menjanjikan. Namun demikian, rasa
rendah diri warga dan kurangnya rasa percaya serta penghargaan atas hasil
produksi sendiri masih sangat minim. Beberapa potensi yang telah saya sebutkan
di atas pun baru diketahui dengan jelas setelah melakukan observasi lapangan
yang mendalam karena rata-rata warganya malu mengakui dirinya mahir membuat
hasil kerajinan tersebut. Latar belakang psikologis itu pula yang menyebabkan
selama ini hasil produksi mereka dijual paling jauh hanya di lingkup domestik
desa. Ketika kami mengungkapkan kekaguman kami terhadap semua karya mereka dan
meyakinkan mereka untuk menjualnya ke luar pulau, mereka hanya tertawa dan
menyatakan kesangsiannya apakah barang yang mereka hasilkan akan laku di
pasaran. Sayang sekali, padahal kerupuk ikan dari desa ini memiliki rasa yang
unik dan sangat enak, tikar dan tas dari pandan hutan yang dibuat sangat rapi
dan cantik, begitu juga dengan aksesorisnya.
Ke dua
adalah kendala permodalan. Sulitnya permodalan untuk memulai kegiatan wirausaha
di desa ini bermuara pada dua hal. Yang pertama, bagi kelompok nelayan menengah
ke bawah, permodalan tersendat karena ketiadaan sumber pendanaan. Wajar karena
mayoritas nelayan tersebut menggantungkan hidupnya pada cuaca dan musim angin
yang tidak menentu. Kelompok ini belum memiliki kapal sendiri dan peralatan
melaut mereka begitu sederhana. Kesederhanaan sarana yang digunakan itu hanya
memampukan mereka berlayar paling jauh 35 mil untuk mencari ikan – sebuah jarak
yang tidak sebanding dengan luas wilayah laut di Kepulauan Karimata yang kaya.
Yang ke dua, kelompok nelayan yang notabene lebih berada, sebenarnya dapat
memperoleh penghasilan yang cukup besar dalam satu kali melaut. Akan tetapi,
jumlah uang yang diperoleh dalam satu waktu itu dapat langsung habis
dikonsumsi. Ketiadaan lembaga perbankan dan manajemen uang yang belum baik
menjadi alasan mengapa permodalan usaha belum berjalan sejauh ini.
Kewirausahaan Berbasis
Koperasi, Sebuah Optimisme Pembangunan
Dengan penjabaran kondisi di
atas, gagasan yang akhirnya diajukan sebagai proposal untuk pembangunan desa
tersebut adalah kewirausahaan yang berbasis koperasi, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama,
koperasi memiliki sistem yang mengandung nilai-nilai setempat. Kehidupan sosial
di Desa Betok Jaya cukup merefleksikan kepribadian bangsa ini dalam skala kecil
di mana warganya berkarakter sederhana, ramah, suka bergotong royong, serta
adanya nilai kekeluargaan yang kental. Dalam hal ini, koperasi menawarkan
nilai-nilai yang sejalan, yakni asas kekeluargaan dan kebersamaan.
Penyelenggaraan koperasi dilaksanakan secara bersama-sama dan keuntungannya
dipergunakan seutuhnya bagi kesejahteraan bersama. Poin ini penting untuk jadi
prioritas perhatian karena pembangunan akan berlangsung secara berkelanjutan
apabila sistem yang diimplementasi dapat mengadopsi kearifan lokal.
Pada akhirnya, cara kerja yang nyaman akan menentukan kelangsungan hidup
koperasi ke depannya.
Ke dua,
ketersediaan lembaga pemerintah yang siap mendampingi. Indonesia memiliki
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah yang bekerja keras mengayomi dan
melakukan pengawasan terpadu, secara khusus terhadap gerakan koperasi. Pemberian insentif bagi
koperasi sehat yang masih bertahan juga giat dilakukan. Tahun ini tersedia dana
sekitar Rp 1,6 triliun yang siap dikucurkan untuk menopang koperasi di berbagai
tempat di Indonesia.[1] Keberadaan anggaran tersebut, termasuk adanya Lembaga
Pengelola Dana Bergulir, sangat memfasilitasi koperasi yang ingin bertumbuh.
Dalam hal ini, kebutuhan dana untuk permodalan serta pembangunan kapasitas
Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan oleh koperasi di Desa Betok Jaya, maupun di
desa-desa lain yang ingin berkembang dapat teratasi.
Ke tiga,
adanya signifikansi pergerakan koperasi di Indonesia. Kementerian Koperasi dan
UKM baru-baru ini menunjukkan pertumbuhan koperasi yang menjulang tinggi. Dari
target sebanyak 200.000 koperasi tahun 2014, fakta menunjukkan bahwa angka
tersebut sudah terlampaui per 12 Juli 2013 lalu, yakni sebanyak 208.808.[2] Dengan kata lain, target tersebut terpenuhi lebih cepat
dari kurun waktu yang diperkirakan. Keberhasilan unit koperasi salah satunya
terlihat ketika di tengah krisis global beberapa tahun lalu, koperasi tidak
terpengaruh banyak namun sebaliknya, membantu stabilisasi pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Penjabaran alasan-alasan di atas setidaknya dapat menjadi solusi atas
tantangan pembangunan. Melalui koperasi, semangat kebersamaan 'satu sejahtera,
semua sejahtera' dapat dibangun melalui sistem kerja sama di dalamnya. Selain
itu, koperasi juga dapat melatih anggotanya untuk mengelola uang dengan baik,
khususnya untuk mekanisme permodalan nonbantuan pemerintah, yakni melalui
sistem simpan pinjamnya. Oleh karenanya, tantangan perintisan kewirausahaan
yang tadinya tersendat persoalan permodalan dapat diterobos dengan koperasi.
Penutup: Dari Satu Desa di Kepulauan Terdepan ke
Desa-Desa di Nusantara
Embrio yang berisi potensi keberhasilan pembangunan dapat ditemukan di desa
kecil yang terletak di salah satu kepulauan terdepan di Indonesia ini.
Berangkat dari embrio tersebut, dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, saya
dan tim semakin yakin untuk terus mendorong warga agar menyadari pentingnya
berwirausaha dan membentuk koperasi desa bagi kemajuan yang lebih pesat dalam
jangka waktu yang panjang. Meskipun kata koperasi masih sangat awam di telinga
mereka, akan tetapi semangat mereka untuk maju adalah salah satu hal yang
mendasari optimisme kami, di samping tiga alasan yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Saya menyadari bahwa waktu untuk membentuk koperasi desa yang hanya
terbatas kurang dari satu bulan cukup mustahil dilakukan oleh sekelompok
mahasiswa yang masih butuh banyak pembelajaran. Harapan saya, sekaligus
mewakili harapan warga desa adalah menantikan pihak eksternal, khususnya
kementerian yang bergelut di bidang koperasi, untuk dapat mendampingi desa ini
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya melalui bidang tersebut.
Dokumentasi Pribadi: Tim Desa Betok Jaya - Kuliah Kerja Nyata UI 2013 |
Apa yang terjadi di desa ini merupakan sekelumit kisah yang mewakili
banyaknya potensi siap tuai yang masih terpendam di wilayah-wilayah lain di
bumi pertiwi Indonesia. Keyakinan tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa
Indonesia sama sekali tidak miskin. Identitas kita adalah bangsa kaya dengan
potensi luar biasa. Bukanlah persoalan ketiadaan potensi maupun kemampuan yang
sebenarnya dihadapi, melainkan masih adanya dahaga bangsa akan motivasi serta
penghargaan terhadap diri sendiri. Oleh sebab itulah, kunci untuk memajukan
kewirausahaan berbasis koperasi adalah kita harus terlebih dahulu memiliki
kepercayaan diri 'menjadi Indonesia'.
[1]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, “Kemenkop UKM Sediakan Rp 1,6 triliun untuk
Koperasi Sehat” diakses dari http://www.depkop.go.id/index.php?view=article&catid=50:bind-berita&id=1299:kemenkop-ukm-sediakan-rp-16-triliun-untuk-koperasi-sehat&format=pdf
pada tanggal 5 Agustus 2013 pukul 11.28 WIB.
[2] Kementerian Koperasi dan UKM RI, “Menkop dan UKM:
Target Jumlah Koperasi Terlampaui Lebih Awal” diakses dari http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1289:menkop-dan-ukm-target-jumlah-koperasi-terlampaui-lebih-awal&catid=50:bind-berita&Itemid=97 pada tanggal 5 Agustus 2013 pukul
11.41 WIB.
Comments
Post a Comment