Catatan dari Kalimantan Barat
Kaki saya sudah menapak kembali di tanah
Jakarta saat menulis post ini. Memang sudah diniatkan untuk menulis cerita
sebanyak yang saya bisa. Banyak sekali cerita yang terekam dalam jurnal harian –
tentang seseorang, tentang budaya, alam,
dan insights di balik itu semua. Cerita itu dimulai ketika Sang Pencipta
membawa saya terbang melewati Laut Jawa hingga akhirnya tiba di Ibukota
Kalimantan Barat. Hmm, saya ralat.
Sesungguhnya, cerita sudah dimulai jauh sebelum itu. Ini hanya seujung kuku
cerita yang bisa dirangkumkan dengan singkat dalam media yang terbatas ini.
Saya teringat, ada seorang anak remaja di
Taman Bacaan Ceria, Desa Sangku, Kabupaten Kubu Raya bertanya kepada saya, “Kak,
apa kesan Kakak pertama kali sampai di Kalimantan Barat?”
Saya terdiam sebentar lalu menjawabnya,
“Hmm, sebenarnya ini yang kedua kalinya aku ke Kalimantan Barat, mungkin bukan
kesan yang didapat, tetapi malah pertanyaan: Apa ya maksudnya Tuhan, kok aku
dikirim ke provinsi ini lagi?” (Ya, ini kali kedua saya menghirup udara
Kalimantan Barat. Tahun 2013, saya diutus K2N UI ke provinsi yang sama meskipun
kabupatennya berbeda. Cerita tentang itu ada di sini -> Cerita K2N UI 2013).
Pertanyaan saya itu sebenarnya belum
terjawab dengan utuh. Ibarat puzzle, masih banyak bagian yang bolong.
Namun demikian setidaknya, ada bagian puzzle lainnya sudah terisi.
Bagian itulah yang saya ingin kisahkan dalam blog ini. Puzzle itu adalah
kisah-kisah dari satu orang ke orang yang lain, satu tempat ke tempat lain – di
mana di baliknya, saya melihat ada
jalinan benang-benang merah yang ditenun oleh Sang Penenun Agung.
Inilah kisah mereka.
Masuk dusuuuuuuun, yuhuuuuu!
Saat itu hari sudah mulai malam. Jarum
pendek di jam tangan saya sudah melaju hampir ke pukul setengah tujuh malam. Maria,
Puput, Monic, Inset, Ara dan saya akhirnya tiba juga di Dusun Bemuran,
Kecamatan Sungai Betung. Kami berangkat dari Kota Singkawang ketika matahari
masih bertengger kokoh di atas kepala kami. Setelah mengantarkan dua rekan
kami, Imanta dan Tissa ke Dusun Sengkabang di desa seberang, kami baru
melanjutkan perjalanan lagi. Hari itu hujan, jalan yang kami tempuh menuju
lokasi selanjutnya cukup panjang, “dalam“ dan “penuh kejutan“. (Haha, benar
penuh kejutan karena mobil Strada yang kami naiki nyariiiiiiis saja jatuh dari
atas jembatan kayu ke sungai di
bawahnya! Suasana tegang, leher yang tercekat dan teriakan senja itu memorable
sekali :D)
Dokumentasi pribadi: Lokasi hampir jatuhnya Strada kami |
Dokumentasi pribadi: Jalan masuk menuju Dusun Bemuran |
Dokumentasi pribadi: Di balik bukit itu, masih ada bukit lagi. |
Dokumentasi pribadi: (masih) jalan masuk menuju Dusun Bemuran |
Sepanjang perjalanan, ketika aspal jalan
sudah hilang dari pandangan lalu digantikan dengan pemandangan pohon-pohon,
bukit dan jalan setapak berbatu yang lurus, berkelok, menanjak dan menurun,
saya dan Monic sempat berpandangan. Saya mengerti maksudnya, dia pun mengerti
maksud saya.
Monic
berkata, “Yo, God brings us this far.“
Saya mengangguk setuju, “Yap. Thiiiiis
far.“
Kami tidak pernah sejauh itu berpikir
bahwa di Kalimantan Barat, masih ada tempat seperti ini – pelosok. Di hari
pertama dan kedua setelah tiba, kami masih bertanya-tanya mengapa Kalimantan
Barat? Pasalnya, lokasi kantor kami tidak terlalu jauh dari pusat kota yang
hingar bingarnya sebelas dua belas dengan Jakarta. Jadi, awalnya kami merasa
tidak ada yang jauh berbeda. Namun setelah turun ke wilayah jangkauan layanan
kami, ternyata tempat seperti itu ... ada.
Dusun Bemuran, Desa Karya Bhakti – satu
dusun yang letaknya paling ujung di balik bukit. Lokasinya yang 'dihimpit'
bukit dan gunung membuat dusun ini kedap sinyal. Untuk dapat sinyal, induk
semang saya menaruh telepon genggamnya di dalam kantong plastik transparan lalu
menggantungnya dengan posisi menempel tembok. Saya baru tahu kalau dengan cara
demikian, batang sinyal di telepon genggam akan bertambah. Bisa dikatakan,
tembok rumah itu adalah gerbang SMS terkirim dan SMS masuk hahaha. Unik. Cara
lain untuk dapat sinyal adalah dengan pergi ke gereja yang letaknya di atas
bukit. Itupun harus dengan arah dan posisi yang benar. Melenceng sedikit saja,
telepon terputus :“)
Dokumentasi Pribadi: Wah, udah keliatan tuh Dusun Bemurannya! |
Dokumentasi pribadi: Yeaaay, sampai di Dusun Bemuran! |
Listrik belum masuk ke dusun ini. Kabarnya
pernah ada pembangkit listrik yang dibangun. Namun karena terjadi permasalahan
yang belum ditindaklanjuti hingga saat saya live in di sana, dusun masih
gelap gulita bila malam tiba. Hanya satu dua rumah yang memiliki genset sehingga
dapat menikmati terang di dalam rumahnya. Ada satu rumah yang menggunakan lampu
dengan tenaga matahari, itulah rumah yang saya tinggali bersama kawan-kawan.
Bila siang hari, lampu tersebut diisi energinya dengan panas matahari sehingga
malamnya kami memperoleh sedikit pencahayaan. Rumah yang lainnya mendapatkan
terang dari lampu petromaks yang sayu dan anggun sedangkan langit, ia
mendapatkan terangnya dari bintang-bintang yang menyeruak. Semakin dusun gelap,
semakin puas bintang-bintang dan bulan memamerkan kehadiran dan cahayanya.
Indah sekali.
Pak Tobing – “hanya lulusan SD“
Pak Tobing namanya. Beliau adalah induk
semang saya dan tim di Dusun Bemuran. Nama Beliau memang Tobing, tetapi Beliau
bukan berasal dari Suku Batak. Beliau asli Suku Dayak Bekati. Saya kira tadinya
Suku Dayak ya Suku Dayak saja, ternyata ada beragam. Yang saya baru tahu ada
dua, yaitu Dayak Bekati dan Dayak Ba'ahe.
Tadinya dalam bayangan saya, Suku Dayak itu berpakaian seperti Suku Indian hehe,
tetapi ternyata tidak. Mereka berpakaian biasa saja, mengikuti perkembangan zaman.
Baiklah, kembali ke Pak Tobing. Pada hari
kami tiba di rumahnya, Beliau sedang tidak ada di tempat. Kami disambut oleh
istri – Mamak Maria – dan kedua anak Beliau.Tidak lama
kemudian Bapak pulang dengan tangan yang dipenuhi kangkung.
Ya, Pak Tobing dan istrinya adalah petani.
Tidak hanya menanam padi sendiri, Beliau juga menanam sayuran sendiri. Kangkung,
sawi, rebung, pakis, daun singkong – semuanya tinggal petik :D Bukan hanya
petani padi dan sayur, Beliau dan istrinya juga merangkap sebagai petani karet.
Dalam waktu satu hari 'noreh' (mengambil getah karet), Pak Tobing bisa dapat 4
kg getah karet yang nantinya dijual seharga Rp 4000-5000 per kilo. (Sudah
sekitar satu tahun kondisi harga pasaran karet menurun drastis dari yang
mulanya dapat mencapai puluhan ribu per kilonya.)
Pak Tobing, Kader Perlindungan Anak |
Pertama kali teman-teman dan saya
mengobrol dengan Pak Tobing di malam perdana kami menginap di rumahnya, kesan
pertama yang saya dapat dari pribadi Pak Tobing adalah sosoknya yang bersahaja.
Dengan logat Dayak yang kental dan tempo bicaranya yang cepat, Beliau bercerita
banyak malam itu – begitu juga dengan malam-malam selanjutnya :)
Wahana Visi Indonesia ADP Singkawang-Bengkayang mengenalnya
sejak tahun 2010 sebagai tutor PAUD sekaligus Kader Perlindungan Anak Dusun
Bemuran. Tanpa bayaran, semangatnya untuk memperjuangkan hak anak terhadap
akses pendidikan dini dan perlindungan dari kekerasan, tetap tinggi. Dari
matanya yang berbinar dan gayanya yang sederhana dan apa adanya dalam
menuturkan cerita, saya belajar dari sosoknya yang menghidupi panggilan, tulus
dan berserah diri kepada Penciptanya.
Ketika banyak tutor PAUD yang mundur
karena pekerjaan itu “tidak ada uangnya“, Pak Tobing tetap bertahan. Alih-alih
mendapatkan upah dari yang dikerjakannya, Beliau malah sering menggunakan
uangnya untuk biaya operasional PAUD. Bahkan saat ini, rumahnya sendiri Beliau
buka untuk dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar PAUD.
Alih-alih mendapatkan dukungan dan pujian, Beliau tidak jarang menuai cibiran
dari orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang pikir Beliau bertahan karena
'pekerjaan' sebagai kader perlindungan anak dekat dengan uang yang berlimpah.
Padahal faktanya, Beliau dibayar pun tidak.
Beliau pernah disarankan untuk menutup saja
PAUD di dusunnya mengingat jumlah peserta didik yang sedikit. Kondisi suplai
dana untuk keseharian PAUD juga memprihatinkan. Orang tua murid sulit untuk
membayar iuran bulanan, padahal nominal iurannya sudah jauh di bawah rata-rata
PAUD lain.
Walau demikian sesak keadaannya, Pak
Tobing pernah berkata,“Sekalipun hanya ada satu anak, saya akan tetap
ajar dia.“ Hatinya gelisah jika anak-anak di dusunnya tidak sejahtera, tidak
dapat menikmati pendidikan dini yang baik – ya anak-anak, yang bahkan bukan anak
kandungnya sendiri.
“Sekalipun hanya ada satu anak, saya akan tetap ajar dia.“ Hatinya gelisah jika anak-anak di dusunnya tidak sejahtera, tidak dapat menikmati pendidikan dini yang baik – ya anak-anak, yang bahkan bukan anak kandungnya sendiri.
Karakternya yang rajin, tekun dan pantang
menyerah, mencuri perhatian saya. Meski hanya lulusan SD dan kerap dipandang
sebelah mata karena hal itu, Beliau seperti tidak peduli. Beliau setia datang
untuk memperlengkapi diri demi mengerjakan panggilannya tersebut melalui
pelatihan-pelatihan yang difasilitasi, baik oleh pemerintah maupun WVI. Beliau
rela berjalan kaki pulang pergi sekitar 16 km menuju tempat diadakannya pertemuan
dengan Kader Perlindungan Anak yang lain di PusKo (Pusat Koordinasi). Meskipun
berjalan kaki, tidak seperti yang lain yang datang dengan motor, Beliau selalu
sampai tepat waktu – malah sering sampai lebih cepat dari waktu yang sudah
disepakati. Kalau bukan karena panggilan yang dipegang teguh, lalu karena apa
lagi?
Beliau seorang ayah yang lembut hatinya, begitu
mengasihi istri dan anak-anaknya. Tinggal di rumah Beliau rasanya kerasan. Sekalipun
laki-laki, baginya tidak tabu untuk memasak bagi keluarga. Masakannya pun
enak-enak :9 Apapun yang diolahnya selalu jadi masakan yang super enak. Monic,
Maria dan saya biasa 'nambah' minimal sekali setiap kali makan. Hahaha
Dokumentasi Pribadi: Foto bersama keluarga Pak Tobing |
Ya itulah sosok pertama yang ingin saya
ceritakan. Dari Beliau pula, kami tahu belajar salam khas Dayak.
“Adil katalino, bacuramin ka saruga,
basengat ka Jubata“
(Adil dengan sesama, bercermin ke surga, bernapas bagi Tuhan)
Dalam ya artinya :“)
PART 2
Pak Memen dan Kak Suli - Sarjana kembali
ke desa
Perjalanan belum berakhir. Kami meneruskan
visitasi menuju destinasi selanjutnya, yaitu Kecamatan Samalantan. Kami kembali
menumpang Strada merah yang mengantarkan kami ke desa sebelumnya. Dengan
gaya menyetir Pak Kalpin yang gesit, waktu yang perlu ditempuh untuk sampai ke tujuan
berikutnya hanya sekitar satu jam perjalanan. Tidak terasa, kami sudah memasuki
jalan Desa Saba'u, lokasi live in selanjutnya. Kali ini, tim monev dibagi
dua – saya dan Puput di Dusun Polongan, Desa Saba'u sedangkan Monic dan Maria
di Dusun Sindu, desa seberang.
Dikawal juga oleh supervisor kami,
Bang Nando, berhentilah kami di depan sebuah warung kelontong saat hari sudah
gelap. Malam itu gelap sekali. Ternyata bukan karena listrik belum masuk, namun
karena sedang ada pemadaman listrik dari PLN. Tidak lama kemudian, dari warung
kelontong itu seorang ibu muda keluar dengan menggendong anak laki-lakinya yang
masih kecil – umurnya kira-kira 2 tahun.
Dengan ramahnya, ibu muda tersebut
menyambut kami. Di belakang ibu tersebut, seorang pria berperawakan tinggi
datang menyalami kami.
“Ini Kak Suli, ini suami Kak Suli. Kak,
ini teman-teman MT kami titip di sini...,“ kata Bang Nando saat melepas Puput
dan saya untuk tinggal di rumah Kak Suli. Yap. Di rumah Kak Suli dan suaminya,
Pak Marianus atau yang akrab disapa Pak Memen, kami tinggal. Karena hari sudah
malam, Strada kembali meneruskan perjalanannya ke desa tempat Monic dan Maria live
in.
Dokumentasi pribadi: Dusun Polongan waktu senja |
Dusun ini jauh lebih luas daripada Dusun
Bemuran. Dengan kata lain, penduduknya lebih banyak. Kalau di Dusun Bemuran
terdapat 63 KK, jumlah KK di Dusun Polongan mencapai lebih dari dua kali
lipatnya. Akan tetapi, dusun ini jauh lebih sepi dari Bemuran. Heningnya malam
sama seperti heningnya subuh, pagi, siang dan sore. Entahlah, mungkin selain faktor
luas daerah, sudah masuknya listrik ke dusun ini memengaruhi peningkatan nilai
individualis penduduknya. (Ini baru asumsi saja, korelasi antara premis dalam
pernyataan barusan perlu dikaji lagi.)
Kembali ke Kak Suli dan Pak Memen. Sepasang
suami istri ini mengajarkan saya betapa pentingnya pasangan sebagai partner yang
dapat saling mendukung di dalam mengerjakan visi masing-masing. Kak
Suli adalah seorang sarjana ekonomi yang terpanggil untuk menjadi tenaga
pengajar honorer di SD setempat. Pak Memen adalah sarjana hukum yang mengikuti passion-nya
di bidang kewirausahaan. Pada akhirnya, keduanya saling membantu dalam
mengerjakan panggilannya masing-masing. Berikut pemaparan kisah mereka secara
singkat.
"Sepasang suami istri ini mengajarkan saya betapa pentingnya pasangan sebagai partner yang dapat saling mendukung di dalam mengerjakan visi masing-masing."
Pak Memen
Pada tahun 2007, Pak Memen didaulat
menjadi Kepala Desa Saba'u. Pak Memen ini masih sangat muda, idealismenya
terpuji – ingin desanya maju. Masalah pertama yang dideteksi adalah sulitnya
mengakses air bersih di desa. Untuk mendapatkan air bersih, warga desa harus
mengambilnya dari sungai – yang kebersihannya pun belum terjamin. Latar
belakang ini mendorong Pak Memen memutar otak untuk mencari jalan keluar. Beliau
mengajukan permohonan tertulis kepada Wahana Visi Indonesia ADP
Singkawang-Bengkayang untuk pendampingan pembangunan akses air bersih.
Tercetuslah ide untuk membangun pipanisasi
setelah diketahui bahwa bukit-bukit yang mengelilingi desa memiliki mata air.
Panitia pembangunan pipanisasi pun dibentuk. Warga desa mengupayakan dana mandiri
semampunya sedangkan sisa kebutuhan materialnya ditopang Wahana Visi. Semua warga turun
memberikan tenaga untuk melakukan pengerjaan pipanisasi secara bergotong
royong. Dalam dua bulan, pipa sudah terpasang, menghubungkan sumber mata air di
atas bukit dengan keran-keran yang sudah mulai dipasang di rumah warga. Kini air
sudah masuk sampai ke rumah-rumah warga!
Hampir 8 tahun sudah pipanisasi bertahan.
Itu adalah buah dari cinta seorang anak dusun bagi dusunnya. Kepemimpinan dan
visi yang kuat dari seorang pemimpin membuktikan bahwa pembangunan desa bukan
hal yang tidak mungkin. Saya berdoa, makin banyak pemimpin-pemimpin di desa
yang memiliki jiwa seperti Pak Memen – menerobos keterbatasan dan tetap
konsisten menunjukkan kinerja terbaik sekalipun mungkin idenya diragukan atau
bahkan ditertawakan oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Kak Suli
Predikatnya sebagai istri kepala desa
membawa Kak Suli kepada bonus status, yakni Ketua PKK Desa Saba'u. Mengobservasi
kebutuhan desanya, Kak Suli menyoroti kehausan anak-anak Desa Saba'u akan
pendidikan usia dini. Banyak orang tua yang masih belum menyadari betapa
pentingnya pendidikan anak di usia dini – pendidikan di masa paling emas
seorang anak. Sebagian besar orang tua di dusun bekerja menoreh karet sejak
subuh. Saat orang tua sibuk bekerja, banyak anak tidak diperhatikan persiapannya
menuju bangku sekolah, khususnya masa pra-SD. Akibatnya, anak tidak siap saat
masuk SD. Anak tidak mampu mengikuti proses pembelajaran pada tahap pendidikan
tersebut. Akibat turunannya, angka anak yang tinggal kelas besar. Kondisi ini berkontribusi
sebagai penyebab anak di dusun yang akhirnya putus sekolah.
Berangkat dari kondisi itu, satu tahun
kemudian sejak Pak Memen menjabat sebagai kepala desa, Kak Suli mengajukan pendirian
PAUD sebagai salah satu program PKK. Kak Suli sendiri turun sebagai tutor
sekaligus pengelola PAUD. Gedung yang digunakan untuk PAUD hingga saat ini
masih merupakan bangunan bekas perpustakaan yang dipinjamkan oleh SD tempat Kak
Suli mengajar. Benar, status “pinjaman“ ini menempatkan PAUD pada kondisi yang
rawan dari keberlanjutan (sustainability). Sewaktu-waktu, SD dapat
meminta kembali gedung tersebut bila gedung dibutuhkan untuk kegiatan belajar
mengajar yang meningkat.
Seperti masalah yang terjadi di PAUD Dusun
Bemuran, sulit untuk mengharapkan orang tua murid membayar iuran PAUD secara
rutin. Keberlanjutan PAUD pun terancam karena ketiadaan biaya untuk operasional
PAUD, termasuk pembayaran upah tutor. Kondisi ini mendorong inisiatif Pak Memen
untuk menganggarkan dana desa untuk PAUD. Meskipun insentif dana yang diberikan
tidak seberapa, benih kesadaran bahwa PAUD adalah milik desa yang harus
diakomodasi oleh desa sendiri, sudah mulai tumbuh. Sayangnya, itu tidak
bertahan lama karena dana untuk PAUD tidak kunjung dianggarkan kembali pada
periode pemerintahan kepala desa yang baru.
"Di titik ini saya merenungkan bahwa panggilan bukan sesuatu yang darinya kau beroleh 'untung', seringkali kau harus rela dirimu 'dikorbankan' hanya supaya panggilan itu terwujud."
“Tidak boleh PAUD berhenti karena masalah
biaya,“ tekad Kak Suli inilah yang melatarbelakangi mengapa hampir setiap bulan
Kak Suli mengeluarkan dana pribadi untuk 'nombok' kebutuhan PAUD. Gaji sebagai
tenaga honorer di SD jarang dinikmatinya karena baginya, lebih baik uang itu
digunakan untuk kebutuhan PAUD. Di titik ini saya merenungkan bahwa
panggilan bukan sesuatu yang darinya kau beroleh 'untung', seringkali kau harus
rela dirimu 'dikorbankan' hanya supaya panggilan itu terwujud.
Kolaborasi wirausahawan dan pengelola PAUD
Di tengah tantangan tren penurunan jumlah
anak yang datang ke PAUD oleh karena animo orang tua murid yang kecil serta masalah
pendanaan PAUD, WVI tetap menjalankan peran pendampingannya. Mimpi tentang
PAUD yang berkelanjutan dikerjakan WVI melalui misi pembangunan sistem
pendanaan PAUD yang berkesinambungan. Caranya dengan memberikan modal berupa induk
sapi perah kepada dua tutor PAUD untuk dipelihara dan diolah hasilnya sebagai
sumber pemasukan PAUD dengan sistem bagi hasil. Di sinilah, Pak Memen mengambil
perannya untuk mendukung sang istri :“)
Dokumentasi Pribadi: Pak Memen sedang menghaluskan pakan untuk babi |
Dokumentasi Pribadi: Kandang babi Pak Memen |
Pada tahun 2012, Pak Memen menambah
titelnya menjadi pemelihara sapi. Jiwa wirausahanya menyatu dengan ide ini. Sekalipun
sempat merugi dan akhirnya mengajukan pengalihan ternak sapi ke ternak babi, usaha
Pak Memen yang dirintisnya sedikit demi sedikit sudah menampakkan hasil. Saya
tidak heran karena dari apa yang saya amati selama tinggal di kediaman Pak
Memen, Beliau adalah orang yang tekun dan ulet mengerjakan bagiannya. Pagi-pagi
sekali Pak Memen sudah bangun untuk memandikan dan memberi pakan babi-babi.
Dalam pemberian perhatian terhadap teknik pemeliharaan sampai ke pemasaran dan
penjualan, Pak Memen sangat penuh dedikasi dalam mengerjakannya. Mimpinya sama
seperti mimpi istrinya: PAUD tetap berjalan.
Pak Memen sudah tidak menjabat lagi
sebagai kepala desa, begitu juga dengan Kak Suli yang bukan lagi ketua PKK.
Luar biasanya, itu tidak menjadi pembenaran bagi Kak Suli untuk berhenti
mengelola PAUD yang sudah berjalan sejak tahun 2008.
Satu kata untuk menggambarkan sepasang suami istri ini adalah teladan. Mereka adalah partner. Mereka saling mendukung sehingga mereka menjadi efektif dan berdampak.
PART 3
Merambah ke yang lebih 'dalam'
Rangkaian field visit yang saya jalani ditutup dengan live in di Dusun Lingga Dalam. Lingga Dalam -- yap, tepat seperti nama dusunnya, letaknya cukup jauh ke dalam bahkan sampai harus menyebrang dengan menggunakan getek terlebih dahulu.
Dokumentasi Pribadi: Getek dan driver-nya |
Dokumentasi Pribadi:Siap-siap nyebrang untuk live in, yippiiiee |
Di desa ini tidak kalah banyak ceritanya. Salah satunya adalah tentang seorang anak yang sangat menarik perhatian saya. Anak ini masih duduk di kelas 6 SD. Suatu sore ketika sedang bercanda gurau dengan beberapa anak, saya bertanya mengenai cita-cita mereka. Ketika sampai pada giliran anak tersebut untuk menjawab, dia menggeleng-gelengkan kepala, enggan untuk menjawab. Akhirnya, saya pun tidak melanjutkan pertanyaan saya kepadanya.
Selang beberapa hari, sedang ada aktivitas yang saya lakukan bersama anak-anak. Tiba-tiba, anak yang tidak mau menjawab pertanyaan saya kemarin dengan baik hatinya datang membantu saya. Sambil membantu saya, di sela-sela percakapan, dia tiba-tiba berkata, "Kak, saya mau jadi PNS..."
Kalimat itu keluar dari mulutnya tiba-tiba padahal saya sedang tidak membicarakan hal itu. Saya tercengang. Saya senang. Kesimpulan yang dapat saya tarik adalah beberapa hari ini dia sepertinya benar-benar memikirkan jawaban dari pertanyaan saya. Cita-cita yang diinginkannya pun cukup berbeda dari jawaban anak-anak umum yang usianya setara dengan dia. Melihat sinar matanya yang berbinar-binar namun cukup malu-malu, saya optimis dia bisa mencapai cita-cita itu. Saya perhatikan, dia selalu mendengarkan dan memerhatikan dengan seksama setiap kali saya bercerita mengenai apapun, apalagi saat diskusi-diskusi kecil khususnya tentang langit, bumi dan galaksi. hehe (jangan-jangan dia sebenarnya ingin jadi astronot :P)
Bersyukur, setidaknya dengan satu pertanyaan kecil, satu orang anak dapat terpicu untuk melihat jauh ke depan. Yang lebih penting, dengan memiliki cita-cita, anak itu tahu bahwa masa depan sungguh ada dan masa depan adalah milik mereka :)
Closing
Blog ini tidak akan cukup untuk menampung semua cerita. Kembali ke pertanyaan awal, "Apa ya maksudnya Tuhan, kok aku dikirim ke provinsi ini lagi?”
Jawaban simpelnya adalah supaya saya belajar dan berlatih. Supaya saya belajar merendahkan diri. Dahulu saat pertama kali datang ke Kalimantan Barat saat K2N, saya masih datang dengan dagu yang terangkat, seolah-olah kehadiran saya dengan tim saya di desa terpencil adalah bak superhero yang menyelamatkan bumi. Kenyataannya, saya dan organisasi di mana saya bekerja saat ini bukan superhero - sama sekali. Faktanya, kami hanyalah alat yang tidak akan berguna bila tidak digunakan oleh Sang Pemilik Alat.
Kenapa? Karena sebelum kami datang, Tuhan sudah hadir di sana dan sudah mulai merangkai cerita. Tuhan bekerja dan membangun. Bekerja dan membangun lewat apa? Lewat orang-orang yang saya ceritakan di atas. Mungkin Dia tidak terlihat, tetapi Dia hadir - di Kalimantan Barat. Once again, we're not superhero!
Comments
Post a Comment