Sudah Sampai Mana?
Seorang bapak tua duduk di trotoar jalan dengan beberapa sisir pisang yang tergeletak di sampingnya. Ia duduk bersila, memandang jalanan dengan tatapan kosong tanpa peduli seberapa banyak polusi yang sudah ia hirup. Beberapa meter di depan, seorang bapak tua lainnya tengah memikul sebuah buntalan kain berisi buku-buku di punggungnya. Nampaknya ia menjajakan buku cerita dan buku mewarnai untuk anak-anak. Ia berhenti sejenak, memperbaiki susunan buku di punggungnya dengan wajah yang terlihat sangat lelah.
Pemandangan yang saya dapati sepanjang arah pulang di hari terakhir saya bekerja di Wahana Visi Indonesia itu membuat saya terngiang pada perasaan yang jelas sama seperti beberapa tahun lalu. Perasaan miris dan gelisah – ketika saya baru saja keluar mall bersama teman-teman menghabiskan dengan mudahnya uang seratus ribu yang saya punya hanya untuk makan sedangkan ada seorang anak tidur di dalam gerobak rongsokan yang ditarik ibunya di depan mall itu. Tidak jauh dari sana, seorang anak membawa tas kresek hitam, menawarkan tisu jualannya kepada orang yang berjalan menuju halte. Sungguh ketimpangan yang membuat saya malu hati. Rasanya ingin membantu, tetapi saya tidak punya uang banyak. Apa yang harus saya lakukan, Tuhan?
Pada konteks yang lebih besar, ketimpangan semakin terlihat jelas antara pembangunan sisi barat dan timur Indonesia. Saya lahir dengan darah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalir dari ayah saya. Mendengar cerita ayah saya yang dulu harus kabur dari kampungnya untuk mengejar sekolah dan kehidupan yang lebih baik di Jawa, membuat saya terpapar pengetahuan bagaimana hak pendidikan anak-anak seringkali dianggap tidak lebih penting dari urusan adat.
Saya bertanya-tanya, mengapa saya memiliki privilege ini? Sekalipun di tengah kehidupan ekonomi keluarga yang sederhana, saya yang juga adalah anak NTT ini dapat menikmati bangku sekolah bahkan hingga ke perguruan tinggi. Momen itulah yang membuat saya mulai bermimpi.. apa yang bisa saya lakukan dengan priviliege ini untuk mereka yang ada di daerah timur sana?
Pencarian yang dinamis
Pencarian panggilan hidup pun menjadi tema sentral dalam hidup saya sejak saat itu, beberapa bagian pergumulannya pernah saya tuliskan di sini, sini dan sini.
Pagi itu tanggal 1 Mei 2009, tepat di hari ulang tahun saya yang ke-17, renungan harian berjudul Manna Sorgawi membahas satu nama di Alkitab, yaitu Yohana. Pikir saya, kok bisa pas sekali ya. Yohana adalah istri dari Khuza, seorang pejabat/bendahara Herodes. Dalam bacaan itu disebutkan bahwa Yohana adalah murid Yesus, yang di balik layar mendukung pekerjaan-Nya secara finansial dari harta miliknya . Kisah ini menjadi secercah aspirasi kala itu, saya juga ingin seperti Yohana istri Khuza itu, yang mendukung pekerjaan Allah dengan sumber daya yang saya punya.
Enam tahun kemudian, 1 Mei 2015, saya menandatangani kontrak pertama saya untuk bergabung bersama Wahana Visi Indonesia sebagai Management Trainee (MT). Panggilan organisasi untuk menjangkau yang paling rentan, entah mengapa membuat jiwa saya merasa terajak untuk ikut serta. Saya merasa arah panggilan yang membuat hati saya gelisah telah menemukan wadahnya. Saya ingin bekerja dengan mengintegrasikan iman dan ilmu, dan di Wahana Visi Indonesia-lah saya merasa mendapat arena untuk melatih hal itu.
Masa bekerja 9 tahun lebih 4 bulan di Wahana Visi Indonesia menjadi titik penting, seperti wajib belajar 9 tahun. Fondasi saya untuk seterusnya berkarya dalam ranah panggilan development ini saya dapat di WVI. Perspektif memandang kemiskinan yang berakar dari rusaknya relasi vertikal dan horisontal, yang dijabarkan dengan sangat dalam di buku "Walking with the Poor", serta masa 3,5 tahun bekerja bertatapan langsung dengan masyarakat di wilayah pelosok di Indonesia, telah menjadi benih dan pupuk yang baik.
Dari barat ke timur
Seperti halnya anak muda yang idealis saat lulus kuliah, saya menggebu-gebu untuk bisa kerja apapun untuk Indonesia Timur, spesifiknya Papua. Namun semua pekerjaan yang saya lamar, termasuk program MT WVI, tidak ada yang berhasil membuat saya dikirimkan ke Papua. Penempatan pertama program MT di Kalimantan Barat (Kubu Raya dan Singkawang), membuat saya sempat meragu 'ini bukannya ke timur kok malah ke barat?'
Lalu dibawa-Nya saya ke Halmahera Utara. Saya tertawa kecil dalam hati 'oh Halmahera ternyata Indonesia Timur juga, Tuhan ini boleh juga ya"
Tidak lama setelah itu saya dibawa dalam peran Program Officer di Support Office Liaison unit, mendukung beberapa Area Program yang tersebar dari Bengkulu Selatan, Melawi, Sintang, Urban Jakarta, Sekadau, Sikka, Ende, Manggarai Timur, Kupang, Timor Tengah Selatan, Sigi-Palu-Donggala, Tojo Una Una hingga Halmahera Timur. "Ini bukannya ke timur, kok malah jadi kemana-mana."
Ternyata setelah saya renungkan, saya mengimani bahwa saya sedang dibawa detour, berkeliling melihat dan mempelajari kerentanan masyarakat di berbagai konteks di Indonesia. Saya pun agak melupakan keinginan untuk ke Papua hingga akhirnya peran saya berganti sebagai Grant Officer.
Supervisor saya kala itu, Kak Acha Sinaga, memberikan saya kepercayaan untuk memimpin penulisan konsep USAID dan EU. Walau tema good governance dan peacebuilding bukan topik favorit saya, namun karena konteks penulisannya untuk Papua, saya terima tantangan itu. Singkat cerita, saya tidak menyangka kedua konsep tersebut lolos ke tahap selanjutnya karena sungguh proses penulisannya cukup painful bagi saya yang tidak tahu banyak hal tentang terkait dua topik itu.
Penyemangat saya hanya satu: ini untuk Papua. Teringat betapa dulu saya menggebu-gebu ingin ke Papua. Ternyata harus menunggu enam tahun, ketika saya sudah 'lupa', barulah Tuhan bawa di hadapan saya, suatu kesempatan untuk berkontribusi bagi Papua. Bukan dengan turun langsung di tanah Papua, tetapi melalui peran di balik layar, lewat tulisan dan pengembangan konsep program.
Penutup
Setelah bekerja keras bagai kuda, saya belum kaya juga seperti istri Khuza (hahaha). Namun, saya menyadari doa saya sedang dijawab Allah dengan cara yang kreatif. Ternyata bukan secara harfiah mendukung pekerjaan Allah dengan kekayaan saya, tetapi rupanya bisa juga melalui kekayaan sumber daya para sponsor dan donor yang Allah pertemukan dengan organisasi.
Pelita yang saya pegang saat ini memberi terang pada arah dimana saya perlu mencukupkan diri dan mengambil jeda. Saya bersyukur di akhir fase perjalanan bersama WVI ditutup dengan (akan) dimulainya project untuk menolong anak-anak Papua dari stunting. Saya teramat meyakini bahwa tiap-tiap donor yang hadir dalam perjalanan organisasi berasal dari pertolongan Tuhan yang setia memelihara organisasi. Kalaupun ada kegagalan dari proposal yang ditolak donor, kita boleh beristirahat dalam tenang bahwa Tuhan tetap akan memelihara pekerjaan baik ini. Kalaupun ada keberhasilan dari proposal yang kita ajukan, kita boleh tunduk dalam rasa syukur bahwa ini pun terjadi karena kemurahan dan perkenanan Tuhan.
Saya berterima kasih kepada semua rekan-rekan WVI yang terlibat dalam diskusi-diskusi intensif, baik yang hangat maupun panas. Pertemuan dengan tiap pribadi di organisasi ini saya yakini adalah berkat Tuhan yang membantu saya bertumbuh secara pribadi maupun profesional. Saya bersyukur diberi ruang yang cukup untuk bereksplorasi, dipercaya dan didengarkan. Saya bersyukur sekalipun ada kesalahan yang saya buat, saya tetap dirangkul.
------------
Akhirnya saya menemukan waktu yang mindful untuk menuliskan ini setelah hiruk pikuk kehidupan yang menyita sekali karena mempersiapkan banyak hal dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ini. Saya berharap kelanjutan proses mencari dan menjalani panggilan hidup ini dapat saya tulis dan bagikan kembali di milestone hidup selanjutnya.
Di atas langit antara Jakarta dan London, 16 September 2024, tulisan ini saya akhiri.
Comments
Post a Comment