Setelah lulus kuliah, kamu mau jadi apa?
Ini adalah tulisan pertama saya yang secara detail menjelaskan tentang penelusuran panggilan hidup saya. Banyak orang, termasuk saya di dalamnya, cenderung takut dan tidak nyaman untuk menceritakan pergumulan panggilan hidupnya secara terbuka. Ada banyak sebabnya. Salah satunya adalah kita takut bila ternyata kita menyimpulkan terlalu cepat tentang arah panggilan kita, padahal sebenarnya bukan ke sana kita dipanggil. Akan tetapi, terlepas dari semuanya itu, akhirnya saya menjawab iya untuk menuliskan tentang ini. Berharap, sekalipun hanya secuil, prinsip-prinsip dan langkah-langkah yang saya gunakan hingga saat ini dapat berguna untuk setiap yang membacanya, khususnya dalam menyelami misteri panggilan hidup.
*tulisan ini sudah dipublikasi dalam Buletin αngkatan FISIP UI edisi Desember 2015 (dapat diunduh di http://tinyurl.com/Buletinangkatan2015)
Kebanyakan mahasiswa tidak
memiliki jawaban yang jelas dan yakin untuk merespons pertanyaan dalam judul
tulisan ini. Terlalu banyak yang ragu-ragu bahkan menganggapnya sebagai hal
yang tidak perlu dipikirkan pada semester-semester awal kuliah, seakan-akan
perkuliahan yang dijalani sehari-hari tidak ada hubungannya dengan life after campus. Sudah menjadi “teori
umum”, bukan? Teori umum yang salah kaprah itu: mahasiswa datang belajar tanpa
tahu tujuannya mau ke mana. Betapa tidak efektifnya hari-hari seseorang yang
tidak memiliki tujuan – itulah hal yang dialami banyak orang bahkan saya
sendiri juga mengalaminya. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi hal-hal
praktis untuk membantu teman-teman mulai menjejaki jawaban dari pertanyaan:
untuk apa Anda dan saya diciptakan di dunia ini?
Dimulai dari mimpi menjadi duta besar
Singkat cerita, saya lulus dari jurusan Hubungan
Internasional UI. Ketika lulus, pundak saya sudah dibebani oleh ekspektasi
keluarga dan banyak orang yang mengenal saya. Saya diproyeksikan akan bekerja
di tempat yang akan membawa saya pergi ke banyak negara. Dalam pikiran banyak
orang, jurusan ini adalah jurusan berprestise tinggi.
Saya pun awalnya masuk jurusan ini dengan ekspektasi itu.
Di kalangan anak HI, terkenal sekali Model United Nations (MUN), semacam
simulasi sidang PBB dan UKM English
Debating Society (EDS) UI. Pikir saya, bila ingin menjadi duta besar, dua
tempat itulah yang saya perlukan untuk mengasah kemampuan saya. Saya pun
mencelupkan diri ikut MUN dan EDS. Saya memimpin sebagai council director di tiga event
MUN dan sempat mengikuti dua kompetisi debat. Apa yang saya lakukan mungkin kelihatannya
keren. Namun sebenarnya, ada kegelisahan dalam hati. Saya merasa sedang dalam
perjalanan ke suatu tempat, namun saya tengah berada di tempat yang tidak
semestinya.
Saya berupaya untuk menumbuhkan cinta kepada apa yang
saya lakukan di sana, namun percuma – cinta itu tidak kunjung tumbuh. Yang saya
yakini, ketika suatu tempat adalah tempat di mana Yang Menciptakan saya
menginginkan saya berada, saya akan mampu mendedikasikan versi terbaik diri saya
– sekalipun saya ditempatkan di medan yang sulit. Saya realistis saja, karena
saya akhirnya menemukan hidup saya menjadi tidak efektif ketika berada di sana,
saya memutuskan untuk berhenti melanjutkan ambisi saya. Lebih baik saya mencari
tempat di mana saya seharusnya berada. Saya pikir tempat itu adalah dunia community development, ya saya mau
berkiprah sebagai development worker.
Hal-hal praktis menggumulkan panggilan hidup
Keputusan untuk bekerja di area development bukanlah hal yang bisa diputuskan dengan berpikir hanya
selama tiga hari dua malam. Saya memulai pencarian itu saat kelas 2 SMA, ketika
pertanyaan “untuk apa saya diciptakan di dunia ini?” begitu menggelisahkan –
bahkan sampai hari ini. Beberapa kali saya frustasi sendiri karena memaksakan
ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu secepat-cepatnya dan sejelas-jelasnya. Seakan-akan,
saya menuntut Tuhan segera memperlihatkan kertas yang Dia gunakan untuk
menuliskan rencana-Nya atas saya. Alih-alih mendapatkan kejelasan, pandangan
saya malah semakin kabur. Tidak jelas mau ke mana. Stagnan.
Setelah melewati fase itu, saya baru mengerti bahwa mencari
panggilan hidup adalah pergumulan seumur hidup. Sedikit demi sedikit, Sang
Pencipta bukakan dan tuntun ke arah yang Dia inginkan. Itulah cara Dia bekerja.
Karena pandangan yang masih samar-samar, tidak ada yang bisa kita lakukan
selain menggenggam tangan Sang Penuntun itu dan mengikuti arah yang Dia mau.
Bila sejak awal kita sudah tahu dengan sejelas-jelasnya tujuan kita, saya pikir
kita akan segera melepaskan pegangan tangan kita dan segera berlari menuju ke
sana – “meninggalkan Tuhan di belakang kita”. Relasi dengan Tuhan di sepanjang
perjalanan, itulah yang lebih berharga daripada mengetahui dengan segera
jawaban atas pertanyaan kita itu.
Saya mencoba merangkumkan dari buku-buku dan seminar
tentang panggilan hidup yang saya datangi. Dengan melakukan perenungan mengenai
poin-poin di bawah, akhirnya saya menemukan arah yang sedikit lebih jelas.
Berikut adalah beberapa hal praktis yang bisa saya bagikan untuk membantu
teman-teman bergumul tentang ini.
HEART CALL
Coba tuliskan kondisi
atau isu apa yang membuat hatimu begitu gelisah, terbeban sekaligus
membangkitkan minat untuk terus mencari tahu. Hati saya paling “terganggu”
ketika melihat orang lain yang merasa dirinya kurang berharga sehingga rasa
ketidakberhargaannya itu menutup potensi yang dia miliki. Saya yakin dengan
pasti bahwa setiap pribadi benar-benar berharga di mata Sang Pencipta dan
semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya .
Namun yang terjadi sekarang, dunia ini “menyediakan
hormat dan perhatian” hanya bagi mereka yang kaya, mencetak prestasi tinggi,
bergelar banyak dan berpengalaman. Lalu di manakah tempat bagi mereka yang berada
pada kondisi sebaliknya? Mereka dikasihani lalu diabaikan. Bahkan upaya
mengasihani mereka pun tampak hanya sekedar formalitas. Perlakuan ini hanya
menempatkan mereka pada posisi semakin tidak berharga. Kepada mereka inilah
saya terpanggil kuat untuk “menyediakan hormat dan perhatian”.
Bagaimana denganmu? Isu politik, ekonomi dan keuangan,
sosial, kebudayaaan, militer, media, kesehatan, olahraga, gerakan kepemudaan, pelayanan
rohani atau pendidikankah yang paling menggelisahkan hatimu?
TALENT CALL
Coba tuliskan dalam
hal-hal apa saja kamu paling baik dan tanpa merasa berat hati dalam
mengerjakannya. Di poin ini, saya menemukan bahwa intuisi saya cukup kuat
untuk melihat potensi dalam diri seseorang. Saya menyukai bagian saya menjadi coach untuk mendorong seseorang
mengembangkan potensinya. Di dalam kondisi paling kritis, saya masih bisa
tenang dan melihat peluang. Kondisi ini sering membuat orang melihat saya sebagai
orang yang santai namun yang paling optimis di tengah kepesimisan tim.
Bagaimana denganmu? Dapat menulis dengan lugas, memimpin tim, berbicara di
depan publik, menciptakan lagu atau puisi, menyanyi, membuat analisis,
melakukan penelitian, mengajar atau yang lainnyakah? Jangan ragu meminta
bantuan dari orang-orang yang mengenalmu dengan baik untuk melihat area ini.
PROVIDENTIAL CALL
Ravi Zacharias dalam bukunya The Grand Weaver mengatakan
bahwa Tuhan menjalin benang-benang merah dalam
hidup setiap kita. Benang-benang merah itu adalah rencana yang
berkelanjutan – mulai dari kenapa kita ditempatkan di tengah keluarga kita saat
ini, kenapa dilahirkan di Indonesia bukan di Rusia, kenapa masuk di sekolah
itu, kenapa memiliki karakter seperti sekarang, kenapa dipertemukan dengan orang-orang di sekeliling kita saat ini dan
seterusnya. Tuliskan itu semua sampai kamu dapat melihat benang-benang merah
itu. Dari situ kamu dapat menyimpulkan ke
arah mana sesungguhnya Allah sedang mempersiapkanmu. Maka cobalah
menuliskan kesempatan-kesempatan apa yang
selama ini Tuhan bukakan dalam hidupmu.
Pertama, saya dilahirkan
dengan darah NTT yang mengalir dari ayah saya. Dua puluh tahun lebih saya
tinggal di Jakarta, namun dari ayah sayalah saya tahu bagaimana timpangnya
kehidupan di NTT dan di Jakarta. Tahun lalu, saya dibukakan jalan untuk datang
langsung dan melihat tempat-tempat terpencil di sana. Hancur rasanya hati saya
menemukan anak-anak di sana yang bahkan bermimpi pun tidak berani. Untuk
sekolah sampai SMA saja itu sudah dianggap sebagai suatu kemewahan.
Saya berpikir, dengan identitas sebagai bagian dari anak
NTT, kenapa Tuhan memberikan saya kesempatan untuk menikmati pendidikan sampai
kuliah di jurusan dan kampus yang baik di Jakarta? Pasti ada sesuatu yang Dia
maksudkan.
Kedua, semasa kuliah,
salah satu kelas yang paling menarik bagi saya adalah kelas pembangunan
internasional. Mempelajari mengapa China, Jepang, Korea Selatan, Amerika
Selatan dan India bisa membangun dan maju membuat saya berpikir, “kenapa tidak
membangun Indonesia?”
Lalu pertanyaan selanjutnya: membangun dari bagian mana?
Tuhan kembali membawa saya melalui K2N UI ke daerah terpencil di Kepulauan
Karimata, Kalimantan Barat. Di sana saya mulai berpikir untuk pergi membangun
daerah-daerah yang jarang disorot.
Ketiga, saya pernah
marah karena merasa “dijebak” masuk ke dalam pelayanan Diakonia di gereja. Setelah
tiga tahun berjalan, saya baru menyadari bahwa masa tersebut adalah masa yang
begitu penting untuk mempersiapkan saya supaya semakin peka dan tajam. Dalam
Komisi Diakonia, saya makin memahami konsep pay
it forward bahwa tidak cukup bekerja melayani yang miskin hanya dengan
memberi. Mereka perlu diperlengkapi supaya pertolongan yang diberikan kepada
mereka tidak membuat mereka bergantung, melainkan mendorong mereka untuk mampu
menolong orang lain lagi.
Keempat, saya
dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki concern yang mirip dengan saya sehingga kami saling menajamkan
panggilan. Saya masuk di tim organisasi dan kepanitiaan yang mendukung saya
mengembangkan talenta saya sampai ke hal yang klerikal. Saya dipertemukan
dengan rekan-rekan persekutuan, baik di gereja, di sekolah maupun di kampus,
yang terus mengingatkan saya tentang Yang Mahakuasa dan tindakan kasih-Nya bagi dunia ini dan untuk itulah
saya harus mengasihi juga dengan tindakan.
Menjadi development worker: pilihan yang sulit
Ketika benang-benang itu disambung dan dua poin di atas
digabungkan dan dianalisis, arah yang cukup jelas setidaknya untuk saat ini
adalah saya dipanggil ke bidang transformational development. Panggilan
kepada kaum yang dipandang kurang berkembang, menjadi alat untuk mengembangkan
mereka melalui potensi yang sebenarnya ada di dalam diri mereka.
Perenungan itu yang menggiring saya memikirkan wilayah
tengah hingga timur Indonesia. Sudah terlalu banyak orang yang bergerak ke
barat Indonesia untuk membangun Jakarta. Saya bergerak melawan arus, memilih
untuk membangun di daerah-daerah yang kalau ada listrik, sinyal dan air saja sudah syukur. Di titik inilah tantangannya untuk
memutuskan.
Kita terobsesi hidup di tempat yang modern, bekerja
dengan fasilitas yang memadai, memiliki penampilan yang berkelas dan
mengumpulkan banyak uang untuk membeli materi yang akan mengidentikkan kita
dengan kesuksesan. Di keluarga besar saya pun demikian. Seseorang dianggap
berhasil ketika dia sudah memiliki gaji yang tinggi, rumah, kendaraan pribadi
bahkan investasi. Namun bagi saya, terlalu miskin definisi kesuksesan yang
disuguhkan itu. Saya pikir kita tidak diciptakan hanya untuk mengumpulkan
materi dan menikmatinya. Saya pikir Yang Menciptakan Kita punya rencana yang lebih tinggi daripada membiarkan
manusia hanya sampai menyelesaikan pendidikan, bekerja lalu berkeluarga. Saya
setuju dengan kata-kata Ibu Theresa bahwa “a
life not lived for others is not a life”. Untuk apa hidup hanya berfokus
pada diri sendiri?
Dari banyaknya tempat bekerja, saya
malah dibawa masuk ke Wahana
Visi Indonesia (WVI) – sebuah NGO yang dulunya saya pandang sebelah mata. Tidak
pernah sedikitpun terlintas saya akan bekerja di sini. WVI hanyalah sarana,
bisa jadi Tuhan ingin saya di sini seterusnya atau malah menunjukkan tempat
lain lagi. Itulah mengapa kita harus selalu bertanya kepada-Nya. Sarana yang
Dia pakai bisa bermacam-macam namun arahnya tetap akan sama. Setidaknya untuk
saat ini, melalui WVI-lah Tuhan mendorong saya mengerjakan bagian dalam transformational development dan melalui
WVI jugalah saya “didamparkan” di Indonesia Timur.
Jelas, pilihan yang sulit. Saya berhadapan dengan
keluarga besar saya yang berat mengizinkan saya pergi ke tempat yang jauh
dengan fasilitas terbatas dan gaji yang tidak seberapa. Saya meruntuhkan
ekspektasi mereka, bukannya pergi ke luar negeri malah ke pelosok-pelosok desa,
bukannya menggunakan high heels masuk
ke konferensi-konferensi malah menggunakan sepatu keds masuk ke desa. Saya
berhadapan dengan diri saya sendiri, harus meninggalkan kenyamanan yang sudah
memanjakan saya selama ini, menceburkan diri ke zona baru. Saya menantang diri
saya sendiri untuk menghidupi Christ is
enough daripada membuatnya hanya menjadi monumen kata tanpa makna.
Akhirnya saya tetap melangkah, sudah kepalang basah. Saya
sudah tahu arah panggilan ini, lalu mengapa harus berjalan berbalik ke arah
yang bukan seharusnya? Lari ke arah yang berlawanan hanya akan membuat hidup
tidak efektif dan menjadi pribadi yang mediocre.
Tutup telinga saja ketika banyak cibiran datang karena langkah anomali dan
tidak popular ini diambil.
Kesempatan berharga bagi para mahasiswa
Buanglah pikiran bahwa memikirkan panggilan hidup adalah
tugas mahasiswa tingkat akhir. Itu sudah terlalu terlambat. Akibat dari tren
tersebut adalah banyak yang bingung setelah lulus kuliah, lalu menjadi orang
yang hidup dengan prinsip ‘asal saya dapat pekerjaan’, ‘asal gajinya tinggi’. Idealnya
ketika masuk kuliah, kita sudah mulai menggumulkan panggilan kita sehingga kita
akan tahu hal-hal apa yang perlu kita lakukan untuk memperlengkapi kita menuju
panggilan itu. Kelas-kelas yang kita ambil, kegiatan organisasi dan kepanitiaan
yang kita ikuti, sampai topik skripsi yang kita pilih pun akan lebih terarah
dan tajam. Bayangkan betapa efektifnya kita akan hidup ketika kita tidak perlu menyusahkan
diri dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak esensial.
Bilapun sekarang sudah terlanjur berada di tahun terakhir
kuliah, tidak apa-apa. Ambillah waktu untuk benar-benar menggumulkan hal ini.
Jangan terlalu takut untuk melangkah. Melangkahlah ketika harus melangkah, berhenti
ketika harus berhenti dan putar arah ketika harus berputar. Pastikanlah satu
hal: apakah Tuhan beserta – ketika kau melangkah, kau berhenti ataupun kau
berputar.
Jadi, bedakanlah mana yang benar-benar berharga dan apa
yang hanya kelihatannya berharga. Bagi saya, yang benar-benar berharga adalah
mengikuti kehendak Tuhan yang memanggil saya daripada mengejar pride, prestige dan penilaian orang lain
atas pilihan hidup saya. Bukan yang mereka katakan yang menentukan hidupmu,
tetapi apa yang Penciptamu katakan. Maka tanyakanlah: untuk apa saya
diciptakan, Tuhan?
Keterangan:
Menurut KBBI ( http://kbbi.web.id/gumul-2)
Bergumul: (i) bergulat, bergelut
(ii)
melibatkan diri dengan
Menggumuli: memperdalam, mempelajari sebaik-baiknya
I loved reading your blog. What you have written is so similar to my experience. I knew from when I was 16 that life cannot be just about getting a job to get money to buy me things to make me happy. Unlike you, i did not go to university; i didn't do very well at school. But i knew that I was created for a purpose, even if i was called a failure by other people. Isn't that so important! It's hard, especially when you're young, to be strong enough to deal with other people's expectations, or judgments on you. But if we can deal with them, then that is one step on the road to freedom. Freedom to serve God. Excellent blog. I'm encouraged and inspired.
ReplyDeleteHi Seamus! Thanks for visiting my blog anyway. Did you read it with automatic translation? Cool!
DeleteYap, I believe there's something more valuable than chasing for money in life. Do you write blog too? Send me your blog link then, I can't wait to read your story too :)
Yes, i used automatic translation. I work for World Vision too, and you gave me the link to your blog when i emailed you last month asking if you blog on 'community development work'. I do like the way you write, very honest and open. Keep it up!
ReplyDelete