Belum Selesai

Tulisan lanjutan dari sebuah pergumulan yang tidak akan pernah berhenti seumur hidup – panggilan hidup (sebuah panggilan untuk kita hidup). Memutuskan untuk membuka dan menuliskannya untuk berbagi dan menguatkan. Menjadikan tulisan ini juga sebagai monumen untuk mengingatkan diri sendiri akan Sang Pemberi Panggilan.

Akan jadi sebuah tulisan defragmentasi yang panjang. Siap-siap…

***




Maaaagiiiic!

Ini Bulan Desember di tahun kedua saya di Tanah Halmahera. Bekerja di bidang ini, pembangunan a.k.a pengembangan manusia adalah hal yang membahagiakan. Saya seperti menemukan nyawa di bidang ini. Secara spesifik, saya ‘digiring’ untuk masuk ke pengembangan ekonomi masyarakat. Jujur saja, latar belakang pendidikan saya memang tidak serelevan itu untuk dipercayakan tanggung jawab sebesar ini di organisasi ini. Itulah mengapa saya sebut organisasi ini baik dan murah hati sekali, sekaligus gambling juga karena mempekerjakan saya di bidang ini. Berbekalkan sedikit pengalaman waktu kuliah dan minat di bidang ekonomi, saya ‘dijerumuskan’ Tuhan ke sini. Mengapa saya menyebut Tuhan? Karena entah kenapa saya percaya bahwa saya ada di dalam pekerjaan tangan-Nya atas Bumi Hibualamo ini.

Bermodalkan kepercayaan dan investasi dari organisasi serta keyakinan bahwa Tuhan menyertai, saya mengangkat tugas dan tanggung jawab pekerjaan ini dengan sukacita. Mengobservasi 33 desa layanan yang tersebar dari utara hingga selatan – melihat dan mengamati jejaring potensi antardesa dan pemerintah daerah – menjembatani gap antara konsep dan fakta di lapangan; hingga membuat kembali konsep intervensi dan strategi pendampingan masyarakat melalui cara yang kontekstual; bertemu langsung, mengenal, mendengar, melatih, memfasilitasi dan memotivasi masyarakat – semua itu sangat menyenangkan. Membahagiakan, menyenangkan…maafkan bila kata-kata ini sering muncul. Itu semua karena sungguh demikian adanya.

Secara ekstrim saya bisa bilang: sekalipun tidak dibayar, saya akan tetap suka melakukan pekerjaan ini. Baru mendeskripsikan sedikit tentang pekerjaan saya di tulisan ini sambil membayangkannya saja saya sudah sambil tersenyum =)

Pekerjaan ini seperti magic buat saya. Semenyenangkan apapun pekerjaan, saya tidak mengelak bahwa ada pula periode kejenuhan, kebingungan dan kelelahan akibat menghadapi banyak manusia yang (pastinya) sulit berubah dalam jangka waktu yang singkat. Teori perubahan sudah dibuat sebelum kegiatan intervensi diimplementasikan. Namun demikian, tetap saja yang dihadapi ini bukan benda-benda mati yang bisa diselesaikan dengan rumus pasti. Yang dihadapi ini adalah manusia-manusia dinamis yang hidup di dalam zaman yang juga dinamis dan musim yang fluktuatif. Akan tetapi, bertemu dengan mereka secara langsung di kala-kala periode itu datang adalah berkat – berkat yang mengubahkan keluh dan pesimisme menjadi harapan – berkat yang mengubahkan lelah menjadi kuat. Maaagic! Semakin saya dipaparkan dengan kondisi kemustahilan, saya malah semakin melihat harapan yang semakin jelas.

Panggilan hati kita pasti berbeda, sekalipun mirip, mungkin tidak spesifik sama. Perasaan magic yang saya sebutkan mungkin dirasakan pula oleh seorang komposer yang selalu jatuh cinta lagi setiap kali melihat tangga nada dan mengayunkan tongkat pemandunya di hadapan pasukan orkestranya. Atau seperti seorang penyapu jalanan yang selalu merasa energi terbaiknya selalu terbarukan setiap kali ia memegang sapu dan membuat jalan-jalan bersih. Atau bahkan seperti seorang penjahit yang selalu merasa dirinya paling keren ketika ia sedang merangkaikan benang dan kain dengan jarum.

Satu tahun tiga bulan sebelas hari

Satu tahun tiga bulan sebelas hari, saya bersyukur. Tidak terhitung lagi betapa banyaknya kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri. Saya belajar banyak untuk memimpin dan menjadi orang yang dipimpin. Saya menyaksikan keteladanan kepemimpinan di organisasi ini. Baik dari sisi negatif kepemimpinan maupun positifnya, keduanya berbekas menjadi refleksi untuk memperbaiki dan menyiapkan diri untuk masuk babak baru dalam hidup.

Saya ditantang untuk merangkak keluar dari zona nyaman latar belakang ilmu pengetahuan dan gelar kesarjanaan. Saya ditundukkan untuk mendengar lebih banyak dan menggali lebih dalam; kelapa, kewirausahaan, pemasaran, kelompok tani, tanaman bawang, jagung dan sebagainya. Hal baru yang mau tidak mau harus dipelajari. Awalnya sempat menutup hati, “Apaan sih ini?” Tapi hati ini akhirnya terbuka sedikit demi sedikit. Benar, masyarakat tempat saya melayani hidup dari itu semua. Bagaimana saya bisa melayani bila saya tidak mengenal mereka?

Kendala bahasa juga jadi pekerjaan rumah tersendiri. Di awal-awal kedatangan, saya sangat kurang percaya diri untuk memimpin pertemuan dan diskusi dengan masyarakat. Saya takut bahasa saya tidak dipahami. Saya ditempa untuk sekali lagi “melepas sepatu” dan “duduk beralaskan tanah’, mempelajari logat dan bahasa lokal sedikit demi sedikit. Sekarang, logat sudah lumayan bisa menyerupai. Namun, bahasa masih sulit. Pertama, mungkin pengaruh usia dan kedua, mungkin karena memang belum total menyerahkan diri untuk belajar bahasa-bahasa lokal di sini. FYI, di 3 wilayah pelayanan, ketiganya memiliki bahasa lokal masing-masing :”) Tantangan ini manis sekali.

Skenario berubah

Perjalanan selama setahun ini tidak semudah itu  :”) Yang saya tuliskan di postingan terakhir tahun 2015, belum selesai. Sekalipun arah yang semakin jelas mengenai panggilan hidup sudah dijejaki, tapi ini semua belum selesai. Segala konsep yang pernah saya tahu seumur hidup saya mengenai

‘God is too wise to be mistaken, too good to be unkind’,

‘Having God is more than enough’,

‘Jehovah Jireh…’

‘God’s in control’ dan seterusnya…mengalami challenge setiap hari. Kalimat saya pada post ini:

“…sekalipun tidak dibayar, saya akan tetap suka melakukan pekerjaan ini…”

tidak semulus itu diterapkan.

Sepanjang tahun ini penuh dengan masa ‘konfrontasi’ dengan Allah, protes dengan Allah yang cara kerja-Nya kadang-kadang sungguh tidak dimengerti, marah, kecewa, sesak, jatuh hingga titik terendah, masa naik dan turun hingga akhirnya saya menyerah dan membiarkan tangan Allah yang menggenggam tangan saya dengan erat.

Sang Pemberi Panggilan itu seakan-akan membiarkan tempat Ayah saya bekerja mengalami kebangkrutan sehingga Ayah tidak bekerja lagi tepat setelah tiga bulan saya mulai bekerja di tempat nun jauh ini. Sejak awal, saya tidak pernah menjadikan gaji sebagai tujuan utama ketika memutuskan untuk berkarya di sini. Seperti yang sudah saya paparkan di atas, saya pergi karena jenis pekerjaan ini membangkitkan bagian terdalam hati saya. Berapapun besar gajinya, saya tidak terlalu peduli. Ayah saya masih bekerja dan finansial keluarga kami aman-aman saja. Saya masih bisa menabung dengan bahagia. Saya juga sudah membuat rencana tabungan dan peruntukannya dengan rapi. 

Itu awalnya.

Namun skenario tiba-tiba berubah.

Sebuah batu besar seperti ditaruhkan ke atas bahu saya saat pertama kali mendengar kabar dari keluarga saya. Di hari pertama kabar itu datang, saya masih menanggapinya biasa-biasa saja. “Oh, tidak apa-apa. Aku masih bisa menopang keluargaku.” Saya masih bisa menenangkan ibu saya yang kuatir. Saya masih meyakini Tuhan pasti memelihara kami.

Bulan demi bulan berjalan. Nominal gaji yang kata orang pas-pasan itu, ternyata baru terasa sungguh pas-pasan hahaha. Beban semakin terasa ketika tabungan pribadi sedikit demi sedikit terkuras untuk tambal sulam kebutuhan keluarga dan biaya hidup di sini (yang tidak murah). Mulailah jiwa saya berteriak,

“You, God…how could you let this all happen when I’m currently heading to Your calling?”

“I bravely decided to serve here because of Your promise. You’ll take care of my family,won’t You? Is this something that You name as taking care?”

“God, I want to give more, more and more, but  I’m limited. How could I bless more people with this amount of money?”

“What…actually…the things You wanna teach me about? Explain it, God…”

Saya marah dan menuding Allah. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, pergumulan itu benar terjadi. Doa saya penuh nada getir dan seringkali tanpa nada, karena saya hanya diam untuk mendengar lebih banyak. Tanpa disadari pergumulan itu pernah begitu mengusik saya untuk berhenti mengerjakan panggilan ini.

Saya lupa.

Saya lupa betapa Dia Allah yang tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Saya lupa bahwa Dia bekerja di dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya.

Saya lupa bahwa rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.

Saya lupa bahwa Dia berdaulat atas segala ciptaan-Nya,

… dan saya adalah ciptaan-Nya itu. Maka di bawah kedaulatan-Nya itu, Dia berhak melakukan apapun yang Dia perkenan. Dan Dia….tetap adalah Allah,
Gembala yang Baik.

Fase kehidupan yang sedang saya jalani ini adalah konsekuensi dari pilihan yang saya putuskan tahun lalu, yakni bekerja di sini bukan untuk materi. Ini semua belum selesai. 

Saya hanya meminta Tuhan memberikan kekuatan untuk bertahan dan menjalani kehidupan dengan hikmat di tengah keterbatasan yang ada – tanpa menghujat Dia dengan meragukan pemeliharaan-Nya.  Sesungguhnya, Dia tidak pernah membiarkan kami jatuh hingga tergeletak.

Saya bahagia hidup di dalam kesederhanaan. Semua ini cukup, hai jiwaku.

Saya belajar tentang ketaatan dan kesetiaan pada titik makna yang lebih dalam selama setahun ini. Sejak saya mengenal bekerja, mulai dari freelance hingga punya pekerjaan tetap, saya berdoa supaya uang yang saya miliki bisa menjadi berkat untuk orang lain. Saya cenderung jarang memikirkan diri saya sendiri karena saya tipikal perempuan yang tidak akan membeli sesuatu bila itu tidak benar-benar saya butuhkan. Saya hanya menyimpan uang secukupnya bila sewaktu-waktu tiba saatnya ada hal yang dibutuhkan. Kondisi terbaru di mana saya tidak lagi memiliki ‘uang lebih’ untuk menopang orang lain dan pelayanan lainnya selain perpuluhan, kebutuhan keluarga inti dan kebutuhan sehari-hari saya di sini menjadi sebuah siksaan batin. Sedih sekali ingin memberi lebih namun apa daya tangan tak sampai.

Namun dari itu semua, saya diperlihatkan beberapa konsep berpikir saya yang ternyata 
salah.

Tentang ketaatan, kesetiaan dan persembahan

Tuhan tidak perlu menjawab pertanyaan ‘mengapa’ yang saya ajukan bertubi-tubi. Melalui episode ini, saya diajar untuk tetap memerankan skenario ini dengan taat dan memercayakan akhir ceritanya pada Sang Sutradara. Entah apapun yang menanti di ujung nanti, hati saya kembali memegang teguh ‘….untuk mendatangkan kebaikan dan nama Allah semakin dipermuliakan.” Saya berhenti bertanya kenapa. Saya menggantinya dengan mengatakan, ‘kenapa tidak?’ :”D

Pernah dalam doa, saya menyebutkan kerinduan untuk meningkatkan kualitas dalam mempersembahkan dan memberi, tidak hanya kuantitas. Sepertinya Tuhan sedang mengabulkan hal itu. Saya didisiplinkan untuk tetap setia mempersembahkan perpuluhan dalam keadaan apapun. Lebih jauh lagi diajar melalui ‘masa paceklik’ ini bahwa ketaatan kepada Allah lebih baik daripada korban persembahan. Ketaatan itu adalah persembahan yang menyukakan hati Allah. Bagaimana tidak? Manusia yang diciptakan dengan kehendak bebas dan punya kesempatan untuk hidup semaunya, memilih untuk hidup tunduk di bawah kendali Penciptanya. Dalam ketaatan, manusia mengalahkan dirinya sendiri yang merupakan musuh terbesarnya, manusia mengalahkan kesombongan dan keinginannya untuk berperan seolah-olah dirinya sendiri adalah Tuhan.

Dalam hal peningkatan kuantitas, saya ditempa mengenai kasih. Seorang pembicara dalam sebuah ibadah pernah mengatakan,

“Bila seorang memberikan sepatu ‘terjelek’ dari semua koleksi sepatu bagusnya kepada orang lain, itu bukan memberi, melainkan membuang. Memberi adalah ketika kau menyerahkan sepatu terbaikmu untuk dipakai orang lain. Kau sungguh sedang memberi ketika kau sendiri merasa sakit ketika memberikannya, namun kau tetap melakukannya demi orang lain. Bukankah itu cara memberi yang Allah teladankan dengan mengorbankan diri-Nya dalam rupa Kristus di kayu salib? Bukankah itulah sejatinya k-a-s-i-h itu?”

Saya dilatih untuk memberikan bagian terbaik -- untuk menyokong keluarga – sebuah nominal angka yang lebih daripada yang sebenarnya saya ingin berikan. Saya bergulat dengan egoisme sebagai seorang perempuan dewasa yang ingin mempergunakan uang itu untuk keinginan pribadinya. Akhirnya, saya menyerahkannya dengan ‘mengurangi’ diri saya sekalipun ‘sakit’ dan sampai menangis. Saya belajar lebih lagi tentang penyangkalan diri dengan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan saya sendiri. Dan tentu itu tidak mudah, sebuah proses yang belum pernah berakhir.

Saya baru memahami teladan Maria Magdalena yang menyerahkan buli-buli minyak narwastu yang sangat mahal itu “hanya untuk” mengurapi kaki Yesus. Semakin mengerti persembahan dan pemberian bagi orang lain sebagai sesuatu yang digerakkan dan diinginkan Roh Kudus, bukan semata hanya kewajiban sosial atau keinginan hati pribadi yang ingin dipuaskan. Lebih dalam lagi, persembahan dan pemberian bagi orang lain bukan hanya sebagai tempat untuk mengalokasikan dana lebih, melainkan  sebuah tindakan yang didasari kasih dengan penghayatan di atas.

Tentunya semua penghayatan ini tidak akan saya bisa pahami bila Dia tidak mengajarkannya dengan cara seperti ini.

Tentang kecukupan

“Berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya” bukan hanya doa ritual yang sambil lalu saja diucapkan, melainkan doa yang mestinya dipanjatkan dengan sikap hati seperti orang yang sungguh miskin di hadapan Allah dan hanya mengharapkan-Nya sebagai Satu-satunya Sumber Penghidupan.

Tentang perempuan Amsal 31

Perempuan yang dikisahkan ini menginspirasi saya untuk sungguh-sungguh mengatur keuangan dengan baik dan menambah aliran pemasukan dari sumber lain. Perjuangan memang hehehe. Kalau membandingkan diri dengan perempuan dalam perikop itu, pasti masih jauh sekali. Tetapi bukankah adanya perempuan itu di dalam kitab bukan ditujukan untuk mengintimidasi para perempuan yang sedang berjuang ke arah sana, melainkan untuk memotivasi dan menginspirasi mereka? :D Bersyukur keadaan ini boleh ada, seakan-akan dikondisikan supaya saya mulai mengubah cara hidup saya yang terlalu santai, flow like a river, que sera sera dan kurang perencanaan. Manusia diberi hikmat untuk berencana juga kan? Bukan hanya duduk pasif menantikan berkat Tuhan datang, namun mengusahakan dan mendoakan usaha itu.

Jangan gagal fokus

Terus terang saja, segala perkara yang sempat hadir sejak akhir tahun lalu itu cukup menghilangkan fokus dalam mengerjakan panggilan di sini. Dari dialog dan discerning yang dilakukan sepanjang tahun dengan Sang Pemanggil (dan akan terus berlangsung hingga esok, lusa dan seterusnya…), ada banyak insight mengenai arah panggilan ini. Ada beberapa hal yang saya catat, namun belum bisa dibagikan dulu hihihi.

Intinya, ketika panggilan dikerjakan, tidak tiba-tiba semua halangan dan rintangan lenyap. Malah bisa jadi makin kencang angin bertiup untuk menguji panggilan itu. Namun jangan kuatir berlebihan hingga kehilangan fokus (seperti yang saya pernah alami). Tetap tenang dan kerjakan panggilan itu. Allah yang memanggil, Allah yang memelihara. Providensia Allah itu, saya menyaksikan dan mengalaminya.


Selamat menyelam lebih dalam.


(jangan lupa, lakukanlah yang terbaik dan beristirahatlah di bawah tangan Allah yang perkasa, hai jiwamu.)




Comments

Popular Posts