Adakah yang Salah dengan Menunggu?

Prolog

Teringat, dahulu Ibu saya pernah berkata, “Pekerjaan yang paling menjemukan adalah menunggu. Banyak orang ga suka menunggu.“

Sebenarnya, menunggu bukanlah hal yang terlalu bermasalah bagi banyak orang, ASALKAN tidak dalam waktu yang lama. Menunggu pesanan makanan di restoran misalnya, masalah datang ketika makanan tidak kunjung datang dalam rentang waktu yang kita ekspektasikan dalam 'penantian' kita. Sama halnya dengan menunggu Transjakarta atau Commuter Line. Lima menit pertama, kita masih bisa menikmati masa menunggu. Ketika sudah memasuki hitungan puluhan menit, kita mulai gusar, hati mulai memanas, kata-kata keluhan merembes keluar dari hati yang bosan, kita mulai meragukan: apakah yang kita tunggu akan datang? Apa sebaiknya mengganti rencana, naik alat transportasi yang lain?

Saya tersenyum sambil menuliskan ini. Sungguh, segala aspek kehidupan tidak bisa lepas dari proses itu: menunggu. Mulai dari menunggu tukang sayur di pagi hari, menunggu antrian saat mau bayar belanjaan di kasir, menunggu antrian di loket bioskop, menunggu tanggal gajian, menunggu ... (kita bisa isi sendiri). Tapi sayangnya, banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa menunggu adalah momentum. Biasanya memang ketika sesuatu otomatis menjadi rutinitas, sesuatu itu terlihat kehilangan momentumnya – katakanlah, menjadi kurang spesial lagi. Padahal, menunggu itu sangat manis.

Baiklah, menunggu itu manis. Kalimat barusan sangat ambigu makna. Itu sindirankah – ungkapan majas untuk menyatakan makna sebaliknya dari seseorang yang putus asa dalam menunggu? Itu utopiskah – mana mungkin kegiatan yang membosankan itu kau bilang manis, manis dari sisi mananya? Itu terlalu rohanikah – ah, sepertinya kau terlalu merohanikannya? Itu hanya alasankah – bilang saja kau malas bekerja sehingga kau duduk manis dan menunggu Tuhan melakukannya untukmu?

Pekerjaan itu, kapan datangnya?

Yang mengetik kata demi kata dalam tulisan ini bukanlah orang yang sudah selesai menunggu dan sudah menikmati hasil dari penantiannya itu. Akan sangat mudah untuk menuliskannya bila keadaannya demikian.

Saya sedang menunggu. Dalam tujuh bulan setelah lulus kuliah, belum ada pekerjaan tetap yang saya geluti. Ups and downs, downs and ups. Saya tidak menyangkal bahwa masa ini adalah masa yang berat dan tidak menyenangkan.

Pertama, dalam frekuensi waktu yang sangat sering, rasanya semua orang dan semesta alam berkonspirasi untuk menanyakan pertanyaan ini: sudah kerja di mana? Pertanyaan itu tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi juga melalui tatapan mata. Pertanyaan yang sebenarnya bernada baik dan mengandung perhatian itu lama kelamaan menjadi pertanyaan sensitif, yang kalau bisa ingin rasanya dijawab dengan diam. Pertanyaan yang berubah seperti suatu kalimat penghakiman: you're less precious because you have no job. Identitasmu dipertanyakan, kau mulai diragukan. Pengangguran – adalah identitasmu, itu kata dunia yang paling menyedihkan. Kau seakan seperti seorang pemalas kelas dunia. No one is worse than you. Ini terdengar seperti novel atau melebih-lebihkan, namun pemikiran dan perasaan ini sungguh terjadi dan dialami, setidaknya oleh saya yang pernah ada dalam posisi tersebut.

Kedua, tingkat ke-blur-an arah panggilan hidup memang sedikit demi sedikit berkurang, namun tempat yang saya kira tepat untuk menuju panggilan itu ternyata bukan. Beberapa kali mencoba, namun gagal. Fase di mana benar-benar hancur menangis rapuh sampai merangkak bangkit, jatuh lagi dan kembali bangkit sudah seperti irama orkestra musik klasik dengan range nada yang tinggi dan lebar. Kau bisa menari di nada-nada tinggi, namun tiba-tiba jatuh terjerembab di nada paling rendah dalam lagu itu. Ketika rasanya kau sudah menemukan suatu tempat yang begitu kau lihat sesuai denganmu, tinggal sedikit langkah lagi namun tiba-tiba pintu mereka tertutup untukmu.

Ketiga, banyak sekali waktu luang hingga kau bingung apa yang harus kau kerjakan lagi. Waktu berlalu begitu cepat, terkadang terasa sangat lama karena kegiatanmu yang begitu menjemukan di hari-hari itu. Satu per satu teman-teman memperoleh pekerjaan dan kau masih teronggok di rumah. Keluar rumah pun segan karena tidak ada pemasukan. Yang harus kau lakukan adalah menghemat uang tabunganmu untuk kegiatan yang sepertinya kurang perlu.

Seperti poin yang sudah disinggung sebelumnya, masalah datang ketika yang ditunggu tidak datang dalam waktu yang diekspektasikan. Ekspektasi saya, setidaknya tahun lalu pekerjaan yang pasti dan tetap akan diperoleh. Namun hingga masuk Bulan Maret, belum juga ada.

Keputusan yang aneh (?)

Saya tidak tahu apa genre yang tepat untuk mengategorisasikan tulisan ini. Mudah untuk mengatakan bahwa Sang Pencipta mendengar dan menyertai kita, setelah apa yang ditunggu sudah datang di depan mata. Namun kemudian saya memutuskan untuk membiarkan hati saya tumpah di atas keyboard laptop untuk menulis huruf-huruf ini, menuliskan hal-hal yang saya percaya sekalipun hal itu belum terlihat.

Perihal pekerjaan yang belum juga jelas, rasanya saya tidak perlu menjelaskan kepada satu per satu orang tentang apa yang sudah dilalui dan dialami dalam pergumulan pekerjaan ini. Hitung-hitung belajar mengurangi self-righteousness. Entah berapa banyak pikiran orang di luar sana yang mungkin mengira bahwa kondisi ini dikarenakan oleh kemalasan atau sikap terlalu pemilih. Di satu sisi, saya mengambil opini-opini itu untuk mengoreksi diri, siapa tahu memang demikian yang terjadi. Di sisi lain, saya diteguhkan bahwa apa yang saya sedang lakukan adalah tetap berjalan ketika saya dipimpin untuk berjalan dan berhenti ketika saya harus berhenti. Keputusan untuk terus berjalan atau berhenti itu disadari, baik secara terpaksa (melalui penolakan atau tidak adanya kabar dari tempat kerja yang dilamar) maupun sukarela (karena Pencipta memberikan isyarat bahwa memang bukan di situ tempatnya).

“Kenapa begitu? Kenapa ga ambil aja pekerjaan yang kemarin? Gaji dan tunjangan besar, kesehatan dan fasilitas terjamin. Apa lagi yang kamu cari?“ kata seorang teman Ibu kepada saya pasca saya memutuskan untuk tidak menerima panggilan suatu perusahaan.

Saya hanya diam dan mendengarkan. Tersenyum.

Bekerja bukan sesederhana cari tempat yang paling menjanjikan 0% kekuatiran akan masa depan. Salah seorang teman mengatakan keputusan saya itu sebagai keputusan yang anomali, “Banyak orang pengen ke sana, kamu malah nolak.“ Ya, benar anomali. Saya sendiri bingung dengan keputusan itu. Siapa yang tidak mau jaminan seperti itu? Saya pun sebenarnya ingin bergegas berjalan ke sana, menggenggam prestise yang jaraknya tinggal sejengkal tangan. Akan tetapi pagi itu, langkah saya tertahan. Ada bagian hati terdalam yang berbisik, “You're not led for this.“ Lalu implikasinya, untuk apa tetap melangkah ke arah yang kau tahu dengan jelas itu bukan arahmu?

Saya ambil waktu teduh. Menilik dan memutar balik adegan saat saya melamar ke perusahaan tersebut. Saya melamar karena kekuatiran. Sebenarnya saya sedang mengikuti proses seleksi di tempat lain. Tempat ini awalnya saya pandang sebelah mata. Bisa dibilang, saya setengah hati saat melamar. Tempat ini mungkin tidak seglamor tempat-tempat kerja lainnya. Bekerja di tempat ini akan sangat jauh dari prestise. Tetapi yang menarik, visi tempat ini menarik bagian terdalam jiwa saya – menjawab pencarian yang bertahun-tahun saya geluti mengenai 'untuk apa saya diciptakan di dunia ini?'. Pertanyaan itu terlalu serius bagi beberapa orang. Namun pertanyaan inilah yang bercokol kuat sejak saya duduk di tahun terakhir SMA. There must be a mission I'm carrying out, a mission towards a divine vision, from my Creator.

Tempat ini belum juga memberikan konfirmasi mengenai kelanjutan saya di dalam proses seleksinya. Saya mulai kuatir karena tidak ada jaminan kepastian. Alhasil, saya melamar ke perusahaan lain. Tadinya saya berpikir bahwa kalau memang tidak ada kejelasan, ya sudah mungkin saya memang harusnya berada di tempat lain, bukan tempat ini. Akan tetapi, pagi itu keraguan tingkat tinggi memimpin dilema masuk ke dalam otak saya. Akhirnya dalam doa, saya mantap memutuskan untuk kembali menunggu tempat ini dan melepaskan perusahaan yang membuka pintunya itu.

Artinya, saya kembali masuk ke zona penantian tanpa kejelasan dan kepastian. Banyak orang yang mengetahui hal ini menganggap saya orang yang paling bodoh dan aneh. Ketakutan di hati saya pasti ada. Komentar orang lain juga menggerogoti iman saya akan satu tempat ini. Saya juga tidak bisa menjelaskan sedang di posisi mana saat ini saya sedang berjalan; apakah semakin dekat dengan visi yang saya kejar itu atau sebaliknya, berjalan mundur melawan arah. Terlalu bodoh saya untuk memahaminya.

Seperti domba yang rabun, yang kemampuan melihat jarak jauhnya sangat terbatas, begitulah saya. Lembah kekelaman sepertinya mirip dengan kondisi ini. Begitu kabur penglihatan saya untuk mengamati seperti apa jalan yang ada di depan sana, apakah mendaki, lurus atau menurun. Lembah ini gelap dan terdengar banyak dengungan suara binatang lain yang mengintai. Akan tetapi, selama domba ini mendengar bunyi tongkat yang beradu dengan tanah di sekelilingnya, “Duk..dukkk..dukkk...duukk...“ domba ini merasa aman. Selama domba ini mendengar suara, “Hush, hush, hush maju terus, lurus...“ domba ini merasa teguh. Pikir domba ini, “Gembalaku ada di sekelilingku. Dia di depan memimpinku, Dia di samping mendampingiku, Dia di belakang menopangku.“ Itu sudah cukup. Domba ini tidak perlu menyiksa diri dengan mencari tahu sendiri, “..apakah kita berada di jalur yang benar menuju kandang?“ Percayakan saja perjalananmu kepada Gembalamu. Cukupkanlah dirimu dengan itu, dengan mematuhi rambu-rambu-Nya. Jangan mendikte-Nya dengan papan rencana hidupmu.

Apanya yang manis?

Tujuh bulan ini manis, saya tidak menyesalinya. Hahaha, rasanya aneh menuliskan ini. Masa ini masa yang penuh dengan penyangkalan diri. Masa di mana karakter aslimu keluar sampai kau sendiri muak dibuatnya. Masa karakter-karakter burukmu dikikis. Masa di mana sebenarnya otot-otot kaki dan punggungmu diperkuat supaya kau dapat berlari lebih kencang. Masa yang keberadaannya bukanlah suatu kegagalan atau salah perhitungan, melainkan masa yang dirancang secara khusus untuk mempersiapkanmu. Masa ini adalah masa menunggu (tentunya bukan menunggu pasif yang dimaksud di sini – tetapi ora et labora).

Reorientasi Identitas:

Nama perguruan tinggi yang kau usung berikut dengan IPK yang baik, bila itu yang kau jadikan sebagai identitasmu, maka betapa rapuhnya kau. Semu. Semua orang melihat itu dan dengan mudahnya menjadi peramal, “Wah itu mah gampang dapet kerja. Pasti jadi orang.“ Siapa yang sedang orang lain lihat? Kau dan kehebatanmu. Sekalipun mencoba menjawab perkataan orang-orang itu dengan merendahkan diri, bukankah sebenarnya ada bagian hatimu yang bermegah, bangga dengan dirimu sendiri? Jujur, saya demikian.

Namun itu semua diluluhlantahkan. Saya tertekan, saya mengasihani diri, saya membandingkan diri dengan orang lain. Kondisi ini bak tamparan keras untuk menyadarkan siapa saya sesungguhnya – tidak lebih dari seorang ciptaan yang hidup dari belas kasih Penciptanya. Saya pikir selama ini saya kuat, namun ternyata saya tidak sekuat itu. Dibawa sadar sampai ke titik itu rasanya seperti sedang dihajar, ditimpa dengan bebatuan besar yang menggilas sampai saya remuk. Saya menertawakan sekaligus menangisi kebodohan saya, “Hei, kau sama sekali tidak hebat!“ Saya memperingatkan diri sendiri.

“Hei, memang kau sama sekali tidak hebat...tetapi kau sangat berharga, bagi-Ku.“ Sebuah kalimat yang menyembuhkan dari Sang Pencipta.

Benar, kau berharga bukan karena kau sudah jadi juara. Kau berharga bukan karena kau mendapatkan nilai sempurna. Kau berharga bukan karena dapat posisi dan gaji yang baik di perusahaan bergengsi. Kau berharga karena Yang Menciptakanmu memandangmu berharga. Sekalipun kau kalah, kau tetap berharga. Dalam kondisi terbaik maupun terburukmu, kau tetap berharga. Jadi, untuk apa lagi mencari penghargaan dari orang lain ketika kau sudah dapati penghargaan dari Otoritas Tertinggi? Cukupkanlah dirimu dengan itu. I often talk to myself about this and you know what? It always brings freedom and relief. I can enjoy my life without any burdens.

Sekarang atau nanti mungkin akan ada banyak orang di luar sana yang sepertinya berlagak mengenal dirimu dengan baik kemudian dengan leluasanya menghakimi apa yang kau alami dan perbuat. Saya berlatih untuk tidak mengarahkan pandang dan telinga kepada kata-kata mereka. Pada umumnya mereka berasumsi tanpa sungguh mengamati apa yang terjadi denganmu. Dengarkanlah saja mereka, tanggapi dengan bijak, kemudian arahkan pandang dan telinga kepada Penciptamu. By doing so, my identity has been back to its fullness in God's definition.

Konsitensi dan Stabilitas Relasi:

Satu hal yang saya rasa paling teruji dalam momen ini adalah relasi dengan Pencipta. Ketika pertanyaan 'untuk siapa saya hidup?' pertama kali muncul, jawaban yang saya dapati adalah untuk Sosok Yang Sudah Mencipta saya, Tuhan. Tidak ada jalan keluar lain untuk tahu apa dan bagaimana yang disebut dengan hidup bagi Tuhan kalau kita sendiri tidak mencari dan berupaya mengenal Dia. Jalan satu-satunya adalah dengan menjalin relasi.

Saya semakin menyadari bahwa 'trust' adalah unsur yang sangat penting dalam suatu relasi. Dalam hal ini, suatu relasi tidak akan semakin berakar, bertumbuh dan berbuah bila tanpa konsistensi. Lalu di mana konsistensi itu ditempa? Di dalam dinamika musim hidup. Konsistensi dalam dinamika membuahkan stabilitas – di mana saya percaya, stabilitas berasal dari akar yang semakin kuat dan dalam.

I trust God no matter what, I believe He cares about my life.“ Itu adalah kalimat yang pernah keluar dari mulut saya. Ketika musim hidup sedang baik, mudah sekali untuk memercayai bahwa Tuhan itu Tuhan. Tetapi kemudian di musim hidup yang lain, yakni pada titik kekuatiran, pernyataan itu diuji. Apa benar nyatanya seperti itu, ketika...'kau menemukan fakta bahwa dirimu sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, berstatus sebagai pengangguran dan yang ayahnya sudah berada di umur pensiun? Bagaimana kelanjutan kehidupan keluargamu bila kau belum juga bekerja?'—kalimat intimidasi yang timbul dari kultur sosial masyarakat kita.

Tetapi rupanya Allah membawa pengalaman dan pembuktian lagi mengenai diri-Nya, bahwa “...yang memelihara hidupmu dan keluargamu, bukanlah pekerjaanmu Yohana, tetapi Aku sendiri..“

Benar saja, sekalipun saya belum memiliki pekerjaan tetap, selama tujuh bulan ini Dia memelihara melalui berkat-berkat tak terduga, melalui pekerjaan-pekerjaan freelance yang tiba-tiba saja datang. Dari situlah Dia memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan – uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan. Jehovah Jireh is so real, so what are you afraid of? (Jehovah Jireh: a Hebrew term that means God will provide)

Tertantang untuk tetap memercayai bahwa Allah setia dan tetap merenda sekalipun dalam keheningan-sekalipun musim hidup sungguh tidak menentu-sekalipun kondisi di sekeliling merongrong saya untuk menyerah dalam mengejar kehendak-Nya-sekalipun semua mata memandang sinis kepada harapan dan iman saya ini.

Saya tidak tahu dan tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah Dia kerjakan di dalam dan melalui hidup saya, khususnya dalam masa menunggu pekerjaan ini. Yang saya pegang, Dia tetap dan tidak pernah berubah. Tetap Allah yang berjanji dan tidak akan mengingkarinya. Tetap Allah yang sekali-kali tidak akan pernah melupakan dan meninggalkan, Allah yang bahkan memahami dengan sempurna segala niat dan cita-cita saya.

Pengalaman ini begitu berharga dan berkuasa mengubahkan pola pikir saya yang awalnya sangat penakut dan peragu. Dengan memfokuskan pandang kepada Dia dan menyendengkan telinga kepada apa yang dikatakan-Nya itu, pertanyaan-pertanyaan dan gambaran-gambaran yang tadinya mengintimidasi menjadi hilang kuasanya. Bukan apa yang mereka katakan atau yang mereka anggap benar yang mampu menentukan masa depan saya, melainkan Tuhan Yang Menciptakan, Menebus dan Memelihara saya.

Hanya ada keyakinan di hati saya bahwa Dia pasti sedang membawanya. Pekerjaan yang baik sedang dalam perjalanannya untuk menjemput saya, masa ini Dia adakan untuk mempersiapkan saya menempati posisi pekerjaan yang sebentar lagi akan datang ini. Saya tidak tahu pekerjaan apa yang tengah disiapkannya. Sedikit waktu lagi, sedikit lagi, tunggulah, bertahanlah, diamlah di negeri, lakukan yang baik dan berlakulah setia. Have a consistent and stable heart in waiting for His best!

Menjalani penantian

Sahabat

Dalam masa transisi pascakampus ini sangat penting untuk punya rekan yang bisa kau jadikan tempat untuk berbagi hidup. You can never deny that you need friends to talk to, to share your burden - friends that will offer their hearts and hands to support you in prayer – friends that will rebuke you and embrace you as well. Jadi bukalah dirimu bagi persahabatan. Mintalah Dia memberikanmu sahabat. Rasakan begitu banyaknya berkat, kasih dan kekuatan melimpah yang Tuhan alirkan melalui keberadaan mereka di sekelilingmu. I praise God everytime I remember Ibu, Christie, Monic, Belinda, Kak Mita, Lusi – my closest friends He has given. Banyak investasi waktu mereka yang saya habiskan untuk 'melepas lelah' demi mampu kembali 'melanjutkan perjalanan'.

Waktu luang

Nikmatilah banyaknya waktu luang yang tidak akan pernah terulang lagi sebaik pada masa ini. Pandanglah kesempatan-kesempatan yang Tuhan bukakan bagimu untuk memiliki waktu berkualitas dengan setiap orang di sekitarmu, khususnya dalam keluargamu. Saya mensyukuri adanya waktu berlimpah untuk: saling sharing dengan Ibu saat membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau saat santai bersama, mendengarkan segala curhatan ala remaja dari adik-adik saya dan bercanda dengan mereka, dan melayani ayah saya dengan perhatian dalam keberadaannya yang hanya dua hari dalam seminggu di rumah. Waktu yang amat sangat berharga untuk dilewatkan.

Closing: Look to The Cross

Masa ini adalah harta tak ternilai untuk banyak berpikir dan berefleksi tentang Tuhan dan kehidupan. Itu hal penting yang sayangnya seringkali dipandang remeh dan tidak diperhitungkan. Bagian ini sekaligus mengakhiri tulisan ini.

Ada satu lagu yang berkesan bagi saya ketika suatu kali harapan saya hampir kembali goyah dalam masa penantian ini. Judulnya Behold Our God (click this link http://youtu.be/th2sCzuzqTg). Lagu ini membantu saya untuk kembali membenarkan perspektif saya mengenai siapa Dia dan siapa saya. Dia adalah Tuhan yang Berdaulat, siapakah manusia yang mampu mempertanyakan keputusan-keputusan dan jalan-jalan-Nya? Selamat diberkati melalui lagu ini.

Akhir kata, kalaupun diterima bekerja di tempat ini, saya akan memuji-Nya; sekalipun tidak, saya akan tetap memuji-Nya.

Menunggulah dengan sikap hati.

Bertahanlah, bertahanlah sebentar lagi. Sebentar lagi saja.

Nantikanlah DIA.

He is orchestrating the encounter.

Comments

  1. yoo, aku terberkati melalui tulisan mu.
    tetap semangat menjalani hari-hari ke depan bersama Tuhan.
    apapun keadaan yang yoo alami, tidak ada satupun yang terlepas dari pandangan Tuhan krn Tuhan sangat mengasihi yoo. :)
    Mazmur 139

    Tuhan memberkati

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Rachel, terima kasih juga Mazmur 139-nya :) God bless you

      Delete
  2. This day, it is confirmed that waiting is not a wasted time. Hail The Lord, The Giver of the gift! He is worth whatever wait, whatever cost. Happy good friday, people! Happy welcoming the new part of the entire unceasing journey.

    ReplyDelete
  3. hey dalam sekali ms. yo melankolis. haha. tibalah pada waktunya kamu akan lebih dalam merefleksikan hal ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Really wait for that time, Sir. Observing, analyzing, discerning. Keep being joyful! *btw Icasa itu artinya Joy, loh haha*

      Delete
  4. hi yohana, aku nemu blog kamu dari facebook ada teman yang share blog kamu, aslinya aku orang yang paling males baca banyak tulisan tapi kali ini aku baca tulisan kamu yang lumayan panjang hahah... inti nya masalah yg kamu hadapi hampir sama kyk aku, dan sering kadang berpikir negatif dll, thanks for sharing, sangat diberkati melalui tulisan kamu dan lagunya juga :)
    God Bless!

    ReplyDelete
  5. Halo Christie, salam kenal ya :) makasih udh visit blog ini. Iya nih panjang, soalnya tumpahan pergumulan dunia pascakampus hehe. Anw, tetep semangat ya kita. Keep looking to The Cross :")

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts