Tunggu Sebentar

Alarm pagi berbunyi pukul 06.00. Kita bangun mematikan alarm, dalam hati, “Ah, tunggu sebentar lagi.” Alarm kembali berbunyi 10 menit kemudian. Kita kembali bangun dan mematikannya, “5 menit lagi, 5 menit lagi.” Alhasil kita bangun pukul 07.00 dan melakukan segala persiapan menuju kantor dengan terburu-buru. Syukur-syukur ingat sembahyang sebelum memulai hari. Sekalipun sembahyang juga, bagaimana kualitas sembahyangnya? Hanya berbentuk doa yang bergumam tidak jelas, ritual belaka?

“Yang penting sudah berdoa.” Doa diperlakukan seperti baca mantra.

Kelas masuk pukul 09.00 pagi, 15 menit dari tempat tinggal kita baru jalan ke kampus. Pikir kita, aahhh dosennya pun selalu datang terlambat.

Janjian dengan teman pukul 13.00, kita pun datang pukul 13.30, menganggap keterlambatan setengah jam itu wajar-wajar saja dan bisa diterima dengan mudah oleh orang lain, wong orang yang janjian sama kita pun sering datang terlambat. Kita akhirnya menurunkan punctuality standard kita.

Di acara konferensi, acara keakraban di kantor, meeting, dan lain sebagainya pun demikian, waktu istirahat hanya diberikan satu jam dari pukul 12.00 hingga 13.00. Tapi peserta baru lengkap pukul 13.30. Entah apa saja yang dikerjakan hingga waktu satu jam masih saja kurang.

Laporan bulanan di kantor diberikan batas waktu sampai tanggal 29. Kita mengerjakannya beberapa jam sebelum pukul 23.59 tepat pada tanggal tersebut berakhir. Kalaupun belum selesai sedikit dan dikirim agak lewat 15 menit dari deadline, kita pasrah, “Ya sudahlah, toh besok masih tanggal 30. Bulan belum berubah.”

Datang ke sebuah acara ibadah pun demikian. Berapa banyak gereja yang terpampang di papan depan gedungnya waktu ibadah pukul 09.00 tetapi nyatanya baru mulai pukul 09.20? Karena? Majelis atau pendetanya belum datang, sekalipun sudah datang tapi datangnya mepet waktu, atau memang datangnya sudah telat lewat dari pukul 09.00. Jemaat dibiarkan menunggu seperti ikan asin.

Ke kantor tepat waktu pun terpaksa, kalau tidak, hmm gawat….gaji atau jatah cuti dipotong. Bukankah kita melakukannya terpaksa?

Bila dipikir-pikir ada berapa juta jiwa di Indonesia ini adalah pelaku korupsi waktu? Kita-kita ini koruptor. Sama saja dengan koruptor uang yang di pikirannya ‘saya harus mengeruk uang untuk kepentingan saya sebanyak-banyaknya.’ Demikian juga para koruptor-koruptor waktu ini, ‘saya harus mengeruk waktu untuk kepentingan saya sebanyak-banyaknya.’

Tanpa disadari, di alam bawah sadar kita, kita menempatkan kepentingan diri sendiri lebih tinggi daripada kepentingan orang lain.

Kedisiplinan menjadi barang yang langka di tengah kebiasaan tidak disiplin waktu. Menjadi orang on time di Indonesia adalah serba salah. Bila datang on time, sudah hampir pasti kita akan menjadi penunggu-penunggu para pelaku terlambat. Kita kehilangan waktu. Namun mereka tidak pernah tahu, tidak menghargai dan tidak menyadari bagaimana pentingnya waktu yang sudah kita susun dengan rapi berdasarkan prioritas pribadi yang kita pilih.

Sekalinya ada orang yang disiplin dengan waktu, kita melihatnya sebagai anomali. “Ahh, orang ini terlalu kaku. Terlalu perfeksionis” Kita kekurangan teladan orang-orang disiplin waktu sehingga kita terbutakan. Kita terjerumus dalam kubangan kenyamanan…..rasa malas. Bagaimana seseorang memperlakukan waktunya mencerminkan orang seperti apa dirinya.

Saya dididik disiplin sejak kecil oleh Ibu saya. Sejak SD sampai SMA saya terbiasa menjadi orang yang tepat waktu, bahkan seringkali in time. Dalam kamus Ibu saya tentang disiplin waktu, lebih baik kita yang menunggu orang lain daripada kita ditunggu orang lain. Dalam aplikasinya, rekor saya menunjukkan sepanjang saya sekolah saya nyaris tidak pernah datang terlambat ke sekolah begitupun ke gereja. Saya selalu menyelesaikan pekerjaan rumah minimal malam sebelum hari deadline. Saya ingat pernah terlambat datang ke sekolah waktu SMA hanya dua kali, sekali saat ada kebakaran di jalan sehingga macet total dan kedua karena saya sakit pagi hari sehingga berangkat lebih siang dari biasanya.

Namun saya menyadari perubahan mulai terjadi sedikit demi sedikit dan mulai terkumpul menjadi bukit. Mulai masuk kuliah saya banyak kompromi dengan waktu. Saya bahkan lupa berapa banyak saya terlambat datang ke kelas. Di awal perkuliahan saya masih jadi orang yang in time, kuliah pukul 09.00 namun pukul 08.30 paling lambat saya sudah duduk di kelas ketika kelas masih kosong melompong. Dari semua kelas, rata-rata dosen memulai kegiatan di kelas pukul 09.15.

Karena terlalu sering saya menunggu, saya jadi kompromi untuk berangkat lebih siang supaya tidak menunggu tidak jelas. Tampaknya saya menjadi nyaman dengan kondisi itu. Semua orang melakukan hal yang sama, mengapa saya harus menyusahkan diri untuk jadi orang berbeda. Pikir saya kala itu, toh, berkali-kali saya secara tidak langsung memberi teladan ketepatan waktu namun orang lain tidak berubah juga. Saya pun jadi kurang berjuang mengalahkan kenyamanan diri sendiri untuk kembali hidup disiplin.

Hal-hal yang saya katakan di prolog tulisan ini, saya tidak menyangkali bahwa saya juga salah satu pelakunya.

Setelah menjadi alumni, saya kembali menerapkan hidup disiplin sekalipun jatuh bangun. Saat saya masih kerja freelance, saya menjadikan punctuality sebagai salah satu nilai profesionalisme pribadi saya.

Akan tetapi, setahun terakhir ketika bekerja di Halmahera Utara, nampaknya nilai itu diuji lagi. Saya berhadapan dengan banyak mitra kerja lokal yang kesulitan berkomitmen dengan kesepakatan waktu. Pergi ke kantor dinas, pertemuan-pertemuan dan sebagainya, mereka tidak pernah tepat pada waktu yang disepakati.

Kemarin adalah momen yang sangat berharga, akhirnya saya jatuh. Saya sudah mulai berasumsi bahwa semua mitra di sini setipe. Saya membuat janji pertemuan dengan seorang calon mitra. Namun murni kesalahan saya pribadi, saya tidak memperhitungkan waktu dengan benar untuk jadwal kegiatan saya dan tim di hari itu. Akibatnya, saya tidak mampu memenuhi janji pertemuan di siang itu. Saya sampaikan akan datang terlambat, lalu saya meminta maaf. Saya menganggap hal demikian sudah wajar terjadi di kabupaten ini, dan asumsi saya, calon mitra ini akan menerimanya.

Tidak diduga, respons beliau berkebalikan 180 derajat. Saya dimaki habis-habisan. Kata-kata teguran dan penghakiman yang disampaikan membuat dada saya sesak, leher saya tercekat dan mata berkaca-kaca. Saya terpukul. Saya tidak mau memberikan excuse terhadap diri saya karena memang itu adalah kesalahan saya dan saya mengakuinya kepada beliau dan kepada Tuhan.

Terlepas dari itu semua, saya menyampaikan rasa terima kasih pada beliau. Saya percaya teguran yang nyata jauh lebih baik daripada kasih yang pura-pura. Saya penuh syukur karena beliau dipakai Tuhan melalui kejadian yang diizinkan-Nya terjadi untuk memotong ranting busuk yang masih ada dalam diri saya. Momentum kemarin menyakitkan, jujur saja. Namun di saat yang sama begitu mencelikkan, menyegarkan dan menguatkan.

Saya kembali mendapatkan gambaran yang utuh bahwa waktu adalah Kairos, sesuatu yang sebaiknya tidak disia-siakan karena hari ini tidak akan pernah terulang sebagai hari yang sama besok dan seterusnya. Jikapun ditanya apa talenta terbesar yang dipercayakan Sang Pencipta kepadamu? Hal itu adalah waktu. Waktu adalah pemberian terbesar dan paling berharga bagi orang lain dan bagi Tuhan.

Percuma segala pengetahuan agama dan keimanan kita bila tidak pernah diaplikasikan pada hal yang kelihatannya remeh temeh seperti pengelolaan waktu. Sepertinya perlu ditambahkan, bukan hanya kebersihan yang merupakan sebagian dari iman, tetapi ketepatan waktu pun demikian. Bagaimana bisa bertanggung jawab kepada Sang Khalik yang tidak terlihat bila di depan manusia yang terlihat saja kita tidak bertanggung jawab?

Semoga kegagalan saya dapat menjadi pelajaran bukan hanya bagi diri saya sendiri, namun juga para pembaca tulisan ini. Christlikeness is not only a goal but also a process. Jangan patah arang karena kegagalan sekali dua kali.

Soli Deo gratia.


Comments

Popular Posts