Seorang Anak dan Perumpamaan tentang Gajah

Bel pulang sekolah berbunyi. Dengan sigap ia merapikan buku-buku dan peralatan menulisnya ke dalam tas. Sesekali ia menengok jam tangannya.


"Pas, jam setengah 5," pikirnya dalam hati.

Melesatlah ia keluar kelas, perlombaan sudah dimulai pukul 16.30 WIB. Masih berseragam putih dengan kantong bertuliskan OSIS berwarna kuning, tergopoh-gopoh ia berlari menuju gedung itu, sebuah gedung gereja yang jaraknya sekitar 15 menit perjalanan (jika ditempuh dengan berlari).

Telat datang. Gedung itu sudah ramai. Beberapa orang tua dengan anaknya duduk di kursi-kursi sedangkan MC dan para juri sudah bersiap di depan. Peserta-peserta yang lain sudah dipanggil namanya masing-masing sesuai nomor urutnya.

Perasaan ragu ada di hatinya. Ia hanya datang sendiri, masih berseragam sekolah dan datang terlambat - di saat peserta yang lain sudah lengkap dengan kostumnya, orang tua yang duduk di bangku peserta dan tentunya tidak terlambat. Sekalipun demikian, ia tetap saja melangkahkan kakinya memasuki gedung itu. Banyak mata yang melihatnya. Mungkin pikir mereka, 'Anak ini tidak sempat ganti baju dulu?' 

Segera ia duduk di bangku peserta paling terakhir. MC yang sudah menyadari kehadiran anak itu memberikan kode kepadanya. Ternyata hanya dia sendiri yang belum menentukan nada dasar untuk dua lagu yang sudah dipilihnya minggu lalu. Datanglah ia menghampiri keyboardist dan mencatat kunci dasarnya, kemudian kembali ke tempat duduknya dengan kepala tertunduk.

Satu per satu peserta maju, menyanyikan dua buah lagu. Para orang tua mengangguk-anggukkan kepala mereka ketika anak mereka bernyanyi lalu memberikan tepuk tangan yang paling semangat untuk anak mereka. Tangan anak ini mendingin. Duduknya gelisah. Ada kesedihan di hatinya.

Ia mengingat perbincangan dia dengan ibunya beberapa minggu lalu mengenai perlombaan ini. 


'Bu aku mau ikut lomba nyanyi di gereja,' kata si anak dengan berani. Hmm, meskipun ada rasa takut di hatinya. 
'Gausahlah, emang kamu bisa nyanyi?' antusiasme anak ini meredup seketika. Ibunya tahu bahwa anaknya suka sekali bernyanyi. Namun baginya, tidaklah terlalu penting aspek nonakademis itu. Belajar saja di sekolah, dapat juara. Itu sudah cukup.

Si anak tahu bahwa suatu hal yang sulit untuk meminta izin dalam hal-hal seperti ini. Beberapa waktu lalu pun ketika ia ingin ikut les tari dan taekwondo, sama sekali tidak diindahkan oleh orang tuanya. Mungkin juga, selain alasan tidak prioritasnya kegiatan nonakademis, situasi ekonomi keluarga yang sedang memprihatinkan saat itu membuat sang Ibu terpaksa membatasi keinginan anaknya.

Sampailah giliran si anak yang terlambat ini maju ke depan. Ketika namanya dipanggil, suatu perasaan yang tidak nyaman bergejolak di dalam hatinya. Ia tahu bahwa ia datang di hari itu tanpa dukungan orang tuanya, padahal itu perlombaan menyanyi pertama yang dia ikuti. Apa boleh buat, mau tidak mau dia harus maju ke depan. Sudah kepalang basah.

Lagu pertama yang dia pilih adalah lagu yang sangat familiar, Kami Puji dengan Riang. Intro musik sudah mengalun. Namun pikiran anak ini mengawang. Ia ingat ibunya. Ia melihat semua penonton di bangku peserta - orang tua yang mendukung anaknya. Ia membandingkan dirinya dengan anak yang lain. Kesedihan yang mendalam menerobos masuk ke dalam hatinya. Kini dingin di tangannya sudah naik, merembes sampai ke hati.


"Kami puji dengan riang Dikau Allah Yang Besar...." lirik pertama dari lagu itu berhasil dia nyanyikan dengan baik. 
"Bagai bunga t'rima siang.............." hanya beberapa penggal lirik yang keluar dari mulutnya. Seketika ingatan di otaknya hilang. Ia lupa sama sekali kelanjutan dari lirik itu. Ia diam. Musik tetap mengalun. Matanya mulai berkaca-kaca. Semua penonton menatapnya, entah dengan iba atau dengan sindiran. MC di pojok kiri sepertinya sudah gregetan ingin membisiki lirik yang benar. 

Tiba-tiba sepasang orang tua yang duduk di bangku tengah menepuk tangan sesuai tempo lagu sambil menyanyikan bagian lirik yang hilang.Tepuk tangan itu disambut dengan orang tua lain yang ikut menepukkan tangan sesuai tempo.

Dengan terbata-bata, anak ini memperoleh keberanian kembali untuk melanjutkan dan menyelesaikan nyanyiannya.


***

Hari itu meninggalkan kesan yang dalam di batin dan ingatan anak ini. Sejak saat itu, ia jera. Kepercayaan dirinya runtuh, hancur berkeping-keping.


"Aku ga mau lagi nyanyi solo di depan orang banyak. Pokoknya gamau," ia lalu hanyut dalam tangisan setibanya ia di rumah. Sebisa mungkin ia menahan tangisnya agar tidak kedengaran orang di rumahnya. Hatinya pilu sekali.

***

Waktu berlalu cepat sekali. Ia tetap menyembunyikan talentanya yang satu itu. Bahkan ia meragukan apakah itu benar talentanya, atau apakah itu bisa disebut sebagai talenta? bernyayi tapi lupa lirik.

Memasuki sekolah menengah atas, harapannya timbul lagi. Ada ekstrakurikuler Vocal Group. Gejolak terjadi lagi di hatinya. Kali ini, ia mencoba lagi. Di hari pertama pertemuan rekruitmen ekstrakurikuler VG, setiap calon anggota baru diharuskan maju ke depan dan menyanyikan satu bait lagu dengan singkat.

Itu akan jadi kali yang kedua anak itu menyanyi lagi - sendiri, di hadapan orang banyak.


'Bisa. Bisa, kali ini pasti bisa. Tenang, fokus.' ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
'If there were no words, no way to speak, I would still hear you. If there were no tears, no way to feel inside, I'd still feel for you.and even if the sun refused to shine, even if romance ran out of rhyme would still give my heart until the end of time.You're all I need, I love, my valentine...'

Strike! Berhasil! Tidak ada lirik yang skipped dan nadanya pas.Tepuk tangan dari teman-teman di kelas itu rasanya seperti korek api yang tiba-tiba menyalakan kembali lilin yang padam. Kepercayaan diri si anak lumayan ter-upgrade.


***

Dalam beberapa minggu ke depan, sekolah barunya membutuhkan satu kontingen untuk lomba menyanyi solo rohani antar-SMA. Entah siapa yang memberikan rekomendasi, anak ini diberitahu bahwa ia yang akan dikirim untuk mewakili sekolahnya. Mengagetkan. Kalau ada peribahasa yang bilang 'bagaikan petir di siang bolong', begitulah kira-kira suasana hati anak ini. 

Waktu berlalu sangat singkat, tanpa persiapan dan latihan yang cukup. Miskomunikasi dengan panitia, ternyata menyebabkan si anak kembali datang terlambat ke tempat kompetisi menyanyi berlangsung. Untungnya masih terkejar.

Baiklah, ia duduk tenang di bangku peserta. Para pendukung dari SMA-nya sudah berdiri di antara barisan penonton. Ia merasa lebih percaya diri. 


'Kali ini banyak yang mendukungku, semangat. Be humble,' bisiknya dalam hati sambil menghela napas panjang sesekali.

Gilirannya naik ke atas panggung. Ia mengenakan baju putih dengan rok hitam. Rambutnya ia kuncir setengah sedangkan setengahnya lagi ia biarkan terurai. Denting piano mengalun dengan syahdunya. Ia berhasil melalui bait pertama hingga reff dari lagu 'Tinggikan DiriMu' yang dipilihnya.

Tibalah di bagian overtune lagu. 

Ia kehilangan konsentrasinya di tengah musik transisi menuju overtune.

Kacau. 

Musik dan nyanyiannya di bagian ini tidak masuk bersamaan. Nafas semua orang tercekat. Ia terlihat menyadari kesalahannya. Gugupnya tidak tersembunyikan lagi. Mulailah beberapa lirik tertukar. Namun, ia berupaya menyelesaikan lagunya sampai habis. Ia turun dari panggung dengan kepala tertunduk. Rasanya ingin cepat sampai di tempat duduk tanpa melihat ekspresi para pendukungnya.


'tuh kan, aku kan udah bilang - ga akan mau nyanyi solo lagi di depan banyak orang,' keluhnya dalam hati. Hari itu kepercayaan dirinya turun drastis sekali. Ia kembali seperti dulu. Terlalu menakutkan baginya untuk berdiri sendiri di hadapan orang banyak dan.....menyanyi.

Tahun demi tahun berlalu tanpa sedikitpun ia berani tampil ke depan. Trauma, begitu ia menyebutnya. Meski demikian dia tetap ingin bernyanyi. Ia menyelipkan dirinya di antara barisan orang-orang yang bernyanyi bersama - paduan suara dan vocal group. Setidaknya rasa traumanya bisa tertutupi dengan banyaknya orang yang bernyanyi bersamanya.


***

Anak dalam cerita di atas masih tetap bernyanyi solo - meski hanya di kamar mandi. Anak dalam cerita di atas masih berjuang untuk menghafal lirik lagu. Anak dalam cerita di atas masih berjuang melawan 'trauma'-nya. Dan anak dalam cerita adalah orang yang menulis post ini.

Suatu minggu, saya menonton khotbah di televisi bersama Ayah saya. Ada satu perumpamaan yang begitu membekas di hati. Perumpamaannya demikian:


Anda tahu bagaimana seekor gajah dijinakkan? Saat gajah masih kecil, kakinya akan dililit kuat dengan tali yang diikatkan pada tonggak kayu kecil. Setiap kali si anak gajah itu mencoba melepaskan dirinya dengan menarik kakinya, ia akan merasakan sakit pada kakinya. Pada saat itu, memori gajah akan terbentuk seperti ini:
'Ah, setiap kali aku mencoba meloloskan diri, aku hanya menyakiti kakiku saja.  Kayu ini terlalu kuat. Aku tidak akan pernah lepas dari ikatan ini.' 
Begitulah paradigma yang dia bentuk. 
Gajah ini bertumbuh, ukuran badannya semakin besar. Kekuatannya sekarang berbeda dengan kekuatannya beberapa tahun lalu. Dengan potensi kekuatannya yang besar, sesungguhnya ia dapat membuat tali yang mengikatnya koyak dan tonggak yang tertancap ke tanah itu terangkat. Lalu, ia dapat membuat deklarasi sebagai gajah yang bebas. Namun, faktanya ia telah menjadi jinak. Gajah yang sesungguhnya memiliki kekuatan besar itu masih memiliki pemikiran yang kecil, pikiran yang sama dengan ketika ia masih menjadi anak. 
Hmm, pertanyaan refleksinya: apakah 'tali' dan 'tonggak kayu' yang pernah membuatmu gagal dan tidak lagi berani mencoba?

Pengalaman kegagalan yang saya alami di atas (sebenarnya masih ada kegagalan lainnya dalam hal menyanyi), telah membuat saya menjadi seperti gajah itu. Kecewa lalu membatasi diri dengan kegagalan di masa lalu. 'Kalau dulu aja gagal, gamau lagi lah coba.'

Padahal, kondisi saat itu berbeda dengan kondisi saat ini. Saya yang sekarang mungkin sudah berbeda dengan saya yang dulu. Anda yang sekarang juga mungkin sudah berbeda dengan Anda yang dulu. Bukankah kita semua terus mengalami pertumbuhan (baik kemampuan, iman maupun karakter) :) ?

Lalu mengapa harus takut untuk kembali berusaha? *note to myself




Tobelo, 10 Oktober 2015








Comments

  1. Yoan, thanks for sharing this.
    This snaps me and reminds me again that we can always go wherever we want, no matter how many baggages we have from the past. :) GBU

    ReplyDelete
    Replies
    1. You're welcome, Senna! Yapyap, semangat brooo! Gb

      Delete

Post a Comment

Popular Posts