Mau ngapain lo di usia 28 ini, Yo?


Haaaaiii! Akhirnya ya gue nulis juga di 2020 ini. Lama ya nggak update tentang gimana perkembangan terakhir di season-season hidup yang baru hohoho!

Beberapa hari lalu gue ulang tahun yang ke-28. Bersyukurnya, selama beberapa tahun ke belakang, hari ulang tahun gue resmi jadi hari libur nasional. Jadi, gue punya banyak waktu untuk dinikmati dalam ketidaksibukan bekerja.

Dua minggu sebelum ulang tahun, kerjaan gue betul-betul lagi di puncaknya. I worked so hard during the last week of April. Tau nggak kenapa? Supaya tanggal 1 Mei gue bisa mengosongkan hari untuk bisa enjoy my birthday – tanpa diusik tentang kerjaan.

Seorang teman berkata, “gue penasaran dengan apa refleksi lo di ultah ini.” Iyak, sebagai orang yang mostly kontemplatif terhadap hidup, momen ulang tahun biasanya emang tepat untuk selebrasi hidup, apresiasi progress diri dan sebagainya. Sebelumnya pun, gue berencana untuk menelurkan beberapa karya pas di hari gue ulang tahun. Bukan untuk apa-apa, hanya untuk mengapresiasi diri, buat kado untuk diri sendiri yang sudah lama gue ga perhatiin. Ada beberapa rencana, salah satunya adalah tulisan di blog. Tapi, akhirnya meleset juga karena gue ga mau, nulis di blog ini malah jadi beban, kayak kejar setoran atau ngerjain deadline. Jadi ya begini, baru ditulis sekarang.

My heart is really full.

Di malam menjelang tanggal 1 Mei, jujur aja gue nggak bisa tidur. Mata sih merem, cuma pikiran gue jalan terus. Bukan, bukan karena kopi. Tapi entahlah. Di dalam padamnya lampu, mata gue yang terpejam, gue menjelajah hati gue sendiri. Gue coba meluk tangan nyokap gue yang tidur di samping gue, menyandarkan kepala gue di bahu nyokap yang sedang tertidur pulas. Mata gue tiba-tiba aja terasa hangat, air mata merayap sedikit-sedikit – setelah gue mulai berucap,

“Thanks, self, you have worked well and very hard so far. Thank you.”
“Thank you, self, for always loving your family first before anything.”
“Thank you, self, for you are surviving this far with me.”
“Forgive me, self, I push you too hard. Forgive me, self, I always put you in the last row.”

Malam itu gue menyadari sesuatu dengan sangat jelas bahwa keluarga gue berpengaruh sangat besar terhadap keputusan-keputusan yang gue buat disadari atau tidak. Masa kecil gue yang ngalamin susahnya hidup di dalam keterbatasan, membentuk gue jadi gue yang seperti sekarang. Ditambah dengan peran gue sebagai anak pertama -- yang secara kultur keluarga dan masyarakat di mana pun itu -- anak pertama dituntut untuk menjadi dewasa lebih cepat dari adik-adiknya. Anak pertama dituntut untuk menjadi yang paling bisa mengerti beban orang tuanya. Anak pertama dengan segala kondisinya, terbentuk untuk jadi orang yang bisa berpikir jangka panjang, berpikir bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang hal-hal di luar dirinya. Juga, anak pertama dituntut untuk bisa jadi contoh bagi adik-adiknya.

Gue inget masa kecil gue sangat sulit dibandingkan dengan adik-adik gue sekarang. Pulang pergi jalan kaki ke sekolah ketika teman-teman yang lain bisa naik ojek langganan. Cuma mampu beli es teh pas jam istirahat, makan KFC kalau ditraktir temen aja, sampai sering banget ga ikut nongkrong/main sama temen-temen karena simply nggak punya uang. Rumah super sederhana yang bocor waktu hujan sampe gatau mesti belajar dan tidur dimana karena semua sudut rumah basah. Sampai perasaan malu, jangan sampai ada temen yang tau gimana bentuk rumah gue saat itu.

Semakin gue dewasa, gue menyadari bahwa situasi itu mendorong gue menjadikan belajar sebagai pelampiasan. Either way, untuk keluar dari zona kemiskinan adalah motivasi gue. Keputusan memilih sektor pekerjaan saat ini mungkin juga sedikit banyak dipengaruhi oleh itu: gue pengen bantu anak-anak yang mengalami masa kecil more or less mirip dengan gue, bisa striving for their future regardless of their condition.

Sampai gue kerja pun, gue berupaya untuk bisa menopang keluarga, terutama setelah bapak udah gabisa produktif lagi bekerja.

Gue berkeinginan untuk menapaki jenjang karir, mencoba untuk studi lanjut pun nggak jauh alasannya dari keluarga. Gue mau keluarga gue bisa hidup lebih baik lagi. Terkadang itu melelahkan, terkadang gue menyadari memang itu adalah sebuah hak istimewa anak pertama. Gue mau orang tua gue punya rumah yang nyaman untuk ditinggali. Gue mau adik gue bisa kuliah dan bisa berdiri sendiri minimal untuk dirinya sendiri.

Hingga tahun lalu, gue hampir memutuskan untuk menyerah daftar beasiswa lanjut studi karena gue mikirin gimana keluarga gue kalau gue ga ada di Jakarta, gimana mereka kalau gue nggak kerja. Di satu sisi, gue mimpi untuk mendalami bidang yang gue tertariki dan jadi expertise di bidang itu. Kesempatan untuk mempertajam bidang itu terbuka, tapi saat itu gue gamang.

“Nanti aja deh. Masih bisa tahun depan. Adek gue baru masuk kuliah tahun ini, gue mesti stay dulu di deket dia.”

Nanti-aja-deh, selalu gue berlakukan untuk diri gue. Hampir setiap gue nge-list hal yang sekiranya gue perluin, kebanyakan gue akan eliminasi dan bilang ke diri sendiri: ini masih bisa nanti, yang penting sekarang ortu gue, yang penting sekarang adik gue, yang penting sekarang kakek/nenek gue atau kerabat gue yang itu. Kalau untuk gue, bisalah itu nanti.

Suatu saat, temen deket gue yang berprofesi sebagai psikolog minta gue gambar rumah. Analisisnya dari gambar gue, dia bilang gue orang yang terlalu peduli sama orang lain. Yang penting orang lain dulu aja. Somehow being a caring and thoughtful person is great, yet don’t lose yourself in your kindness.

Pesannya buat gue, yang jadi PR sampe sekarang adalah: Yo, please practice more to put yourself first before caring for/helping others. Sampai sekarang gue masih mencernanya dan mencoba figure out sedikit-sedikit bagian mana yang gue mesti renggangkan daripada gue genggam terlalu keras.

Gue langsung relate sama nasihat temen deket gue yang lain.

Yo, I know you really love your family. But I think you’re too much worrying about them. It’s God who takes care of them. Not you. Even without you, God will provide for your family.”

Those words struck. She is true. I have placed myself as ”god” for my family.

“Yo, you have dream. You have to fight for it, don’t sacrifice it as well.”

True, true, true. That’s true.
I put my thought, energy, time and most of all I have for my family. I put myself aside. 

Masa 28 tahun gue hidup, gue membawa pikiran yang berat tentang how my family will live. Khususnya di 5 tahun terakhir, ketika peran anak pertama gue bertambah sebagai tulang punggung. Mungkin itu ya pemicu kenapa jerawat lebih sering bermunculan selama 5 tahun belakangan :”) Gue memikul beban itu dan mempersempit ruang untuk diri gue mengeluh. Gue menyangkali perasaan itu lebih sering daripada gue merangkulnya.

Lalu sekarang bagaimana Yo?

Gue mensyukuri keputusan gue kembali ke Jakarta setahun terakhir ini bisa jadi momen Tuhan berbicara dan menegur pemikiran-pemikiran gue yang salah. Gue seakan membiarkan diri gue menderita demi orang lain tidak menderita (dalam hal ini keluarga gue). Padahal sikap yang gue percayai selama ini tidak jujur karena menyakiti diri sendiri. 

Pada faktanya, nggak harus begitu loh Yohana. Kamu harus enjoy your life juga. Hidup ini bukan melulu tentang kesulitan dan berpeluh, tapi bagaimana kamu bisa menikmati peluhmu dan menertawakan lucunya hidup.

Itulah perenungan gue di ulang tahun ke-28 ini.

I wanna treat, love and take care of myself better than before.

Gue pengen lebih enjoy dalam menjalani hidup. Ga kebanyakan mikirin segala sesuatu. Ga memelihara ketakutan untuk mencoba dan ditolak. Gue mau menghindari needless worry sebanyak mungkin. Karena stress dan segala macamnya itu, sungguh tidak worth dibandingkan dengan kasih Tuhan yang melimpah dan salibNya yang menghiburkan.

Stress hanya membawa dampak buruk bagi kulitmu dan kesehatanmu.

Jadi nikmatilah hari-harimu Yo, baik ketika lengang maupun sibuk, baik sedang bergemilang atau terpuruk. Nikmatilah.

Beristirahatlah dan cukupkan diri dari usaha mendorong yang berlebihan.

Jangan fokus pada meningkatkan speed, tapi bagaimana bisa sustain your pace biar nggak ngos-ngosan dan tetap menikmati keindahan pemandangan di kiri dan kanan.

Rest well, in God’s sanctuary. Your soul is well.

Di usia 28 ini, gue pengen lebih happy regardless of any kind of circumstances that life may throw at me. Gue akan lebih banyak tertawa.

Gue akan coba sebanyak yang gue bisa ketika ada kesempatan.

Gue akan rangkul tantangan begitu pun juga kesalahan dan penolakan. Gue akan coba lagi.

Terkhusus untuk kisah cinta, gue mau berani untuk membuka hati dan mencoba kembali, sekalipun pengalaman terakhir pernah membuat gue terluka. Adek gue bilang, "Jangan sedih lama-lama. Jangan bilang lo kapok. Ga semua cowok kayak gitu." Ya, bener juga. Nggak semua laki-laki begitu, pasti, pasti ada satu orang yang willing berjuang untuk bertumbuh dalam kasih bersama-sama lo. Jadi, gue mau jatuh cinta lagi, HAHAHA!

Apapun itu, gue akan jalan terus. Asalkan gue yakin bahwa Tuhan beserta.

Yah, jadi panjang kan. Padahal niatnya cuma mau bikin yang pendek aja hahaha. 

Well, thanks for visiting this post ya. Semoga ada hal yang bisa dipetik dari sharing kerapuhan gue ini. Semoga Tuhan Semesta Alam memberkahi langkah lo 😊

Comments

Popular Posts